Orientalisme adalah suatu gerakan yang timbul di zaman modern, pada bentuk lahirnya bersifat ilmiah, yang meneliti dan memperdalam masalah ketimuran khususnya Islam. Tetapi di balik penelitian masalah ketimuran itu mereka berusaha memalingkan masyarakat Timur dari Kebudayaan Timurnya (Islam), berpindah mengikuti keinginan aliran Kebudayaan Barat yang sesat dan menyesatkan. Orientalis, adalah kumpulan Sarjana-sarjana Barat, Yahudi, Kristen, Atheis dan lain-lain, yang mendalami bahasa-bahasa Timur (bahasa Arab, Parsi, Ibrani, Suryani dan lain-lain), terutama mempelajari bahasa Arab secara mendalam.
Studi ini mereka gunakan untuk memasukkan ide-ide dan faham- faham yang bathil ke dalam ajaran Islam, agar aqidah, ajaran dan Da’wah Islam merosot, berkurang pengaruhnya terhadap masyarakat, tak berbekas dalam kehidupan, tidak mampu mengangkat derajat kemanusiaan, tidak berperan lagi untuk melepaskan manusia dari perhambaan pada makhluk, dan tujuan Islam tak kunjung tercapai dalam mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan (Zhulumaat: kufur, syirik, fasik, lemah, bodoh, tertindas, miskin, dijajah, dianiaya, dan dalam keadaan terbelakang dalam segala bidang) menuju An Nur (kebalikan dari Zhulumaat, yaitu bertauhid, iman, kuat,pintar, cerdas, adil, aman, makmur, maju dan lain sebagainya).
Alergi dunia barat terhadap dunia Islam dipertegas oleh Samuel P Huntington melalui bukunya Clash of Civilizations. Tesis Huntington tentang benturan peradaban antara peradaban Kapitalisme barat, Konfusianis China dan Islam seolah memang benar terbukti jika kita melihat kondisi hari ini. Kontradiksi-kontradiksi antar peradaban ini kemudian akan menciptakan konflik yang berakar dari benturan peradaban besar dalam hal ini adalah hegemoni barat, universalisme Islam dan arogansi China.
Pada suatu saat, dialektika-dialektika yang terjadi diantara peradaban akan menciptakan suatu tatanan dunia yang benar-benar baru. Tesis Huntington ini mencerminkan adanya ketidaksukaan pada budaya timur khususnya Islam (Islamophobia). Tampaknya Konfusianis China dapat bangkit mensejajarkan diri dengan Kapitalisme barat sehingga keduanya bertarung sebebas-bebasnya dalam perekonomian dunia. Lalu bagaimana dengan Islam, Islam saat ini memang sedang terpuruk, hampir hancur digilas Kapitalisme barat. Apa lagi pasca tragedi 11 September yang menimbulkan phobia terhadap Islam dan usaha untuk memarjinalisasi umat muslim merupakan usaha yang menguntungkan. Dunia barat mencari sebuah cara untuk memeras keuntungan dari industri rasa takut tersebut. Tentu kita masih ingat film Fitna buatan Gert Wilders seorang Yahudi Belanda, karikatur nabi dan pelarangan dan kampanye anti jilbab di eropa.
Di Indonesia umat Islam yang mayoritas sejak zaman kolonial sampai hari ini pun tidak luput dapat serangan kelompok pengidap Islamophobia. Kalau dahulu pada zaman kolonial Snouck Hurgronje yang sempat berganti nama menjadi Abdul Ghafar memetakan kondisi mikro bilogis Islam di Indonesia untuk digunakan melemahkan perlawanan umat Islam terhadap penjajahan Belanda. Saat ini pemerintah pun telah terkooptasi dan termakan propaganda barat dengan memposisikan umat Islam sebagai pelaku aksi terorisme bahkan sempat ada wacana untuk mengadakan sweeping di pesantren-pesantren yang dilakukan oleh pihak kepolisian tentu saja atas pesananan asing.
Belum lama ini ustadz Abu Bakar Ba’asyrir kembali dicekal dengan dugaan membiayai latihan militer di Aceh dan terkait beberapa aksi teror di Indonesia. Tetapi seperti akan mengulangi kejadian sebelumnya bahwa dugaan itu hanya sebatas rekayasa untuk kepentingan asing atau pun sengaja mengalihkan isu pemberantasan korupsi yang tidak ada habisnya. Sehingga wajar saja jika apa yang dilakukan pemerintah ini, dinilai telah menyudutkan umat Islam, kalau nantinya semua ulama yang mengadakan kegiatan pengajian di Indonesia dikatakan sebagai jaringan terorisme. Apakah berlebihan kalau saya katakan bahwa Islamophobia memang ada dan bahkan sedang menghantui serta menteror umat Islam di Indonesia.
Dari Fariz Maulana Akbar
0 komentar:
Posting Komentar