ALQURAN MEMBAWA KEBERKAHAN

Dan ini (Al Qur'an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberikan peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Qur'an), dan mereka selalu memelihara shalatnya. (Surat Al An'aam: ayat 9)

Mukhjizat AlQuran

"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).

IQRA'

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

ALQURAN TERPELIHARA

"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).

DI BAWAH NAUNGAN ALQURAN

Ya Allah, jadikanlah kami ahlul Quran dan jangan Engkau haramkan kepada kami untuk memahami Al-Quran, dan berikanlah kepada kami taufik dan hidayahMu agar kami senantiasa mampu untuk mengamalkan Al-Quran...

Photobucket
Tampilkan postingan dengan label sejarah islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah islam. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 Agustus 2011

KEPERCAYAAN BANGSA ARAB SEBELUM KERASULAN MUHAMMAD SAW

Sebelum membaca artikel-artikel dalam kategori “Sirah Nabi” [1] yang membahas sejarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada baiknya jika kita melihat juga sejarah agama-agama bangsa Arab sebelum kerasulan beliau yang kita tahu merupakan rahmat bagi seluruh alam.


Allah menghendaki bahwa beliaulah yang membawa syari’at-Nya yang dengan itu, wajah dunia pada saat itu berubah menjadi jauh lebih terang, beradab dan lingkungan hidup yang jauh lebih baik. Untuk menggambarkann hal itu, maka hal yang perlu digambarkan secara ringkas pertama kali adalah keadaan Dunia, khususnya bangsa Arab, sebelum munculnya Islam.


Sebelum kedatangan Islam sebagai rahmat Allah untuk alam semesta ini, Jazirah Arab telah dihuni oleh beberapa ideolgi, keyakinan keagamaan. Agama-agama yang sudah ada pada sata itu adalah:


Yahudi

Agama ini dianut orang-orang Yahudi yang berimigrasi ke Jazirah Arab. Daerah Madinah, Khaibar, Fadk, Wadi Al Qura dan Taima’ menjadi pusat penyebaran pemeluknya.1Yaman juga dimasuki ajaran ini, bahkan Raja Dzu Nuwas Al Himyari juga memeluknya. Bani Kinanah, Bani Al Haarits bin Ka’ab dan Kindah juga menjadi wilayah berkembangnya agama Yahudi ini. [2]


Nashara

Agama ini masuk ke kabilah-kabilah Ghasasinah dan Al Munadzirah. Ada beberapa gereja besar yang terkenal. Misalnya, gereja Hindun Al Aqdam, Al Laj dan Haaroh Maryam. Demikian juga masuk di selatan Jazirah Arab dan berdiri gereja di Dzufaar. Lainnya, ada yang di ‘And dan Najran. Adapun di kalangan suku Quraisy yang menganut agama Nashrani adalah Bani Asad bin Abdil Uzaa, Bani Imri-il Qais dari Tamim, Bani Taghlib dari kabilah Rabi’ah dan sebagian kabilah Qudha’ah. [3]


Majusiyah

Sebagian sekte Majusi masuk ke Jazirah Arab di Bani Tamim. Di antaranya, Zaraarah dan Haajib bin Zaraarah. Demikian juga Al Aqra’ bin Haabis dan Abu Sud (kakek Waki’ bin Hisan) termasuk yang menganut ajaran Majusi ini. Majusiyah juga masuk ke daerah Hajar di Bahrain. [4]


Syirik (Paganisme)

Kebanyakan bangsa Arab menyembah patung berhala, bintang-bintang dan matahari yang oleh mereka dijadikan sebagai sesembahan selain Allah. Penyembahan bintang-bintang juga muncul di Jazirah Arab, khususnya di Haraan, Bahrain dan di Makkah, mayoritas Bani Lakhm, Khuza’ah dan Quraisy. Sedangkan penyembahan matahari ada di negeri Yarnan.


Dahulu, kebanyakan bangsa Arab mengikuti agama Nabi Ibrahim dan dakwah Nabi Isma’il, mereka menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dalam seluruh peribadatan. Setelah melewati beberapa masa, aqidah tauhid luntur. Meski demikian, mereka masih memiliki tauhid dan sebagian syiar agama Nabi Ibrahim sampai kota Makkah dikuasai Bani Khuza’ah. Bani Khuza’ah menguasai Ka’bah selama kurang lebih tiga ratus tahun atau lima ratus tahun. Mulai terjadinya penyembahan terhadap berhala (paganisme) di kalangan bangsa Arab, saat Bani Khuza’.ah dipimpin Amru bin Luhai Al Khuza’i.


Kisahnya sebagaimana disampaikan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab An Najdi, sebagai berikut:


“Adapun kisah Amru bin Luhai dan perubahan agama Nabi Ibrahim, bahwa ia seorang yang berkembang dalam sifat baik dan dermawan, serta memiliki semangat agama yang tinggi, sehingga orang-orang sangat mencintai dan mengikutinya. Karena sifat yang baik inilah, mereka mengangkatnya sebagai pemimpin. Dia pun menjadi penguasa Makkah dan Ka’bah. Bangsa Arab menganggapnya sebagai ulama besar dan wali."


“Pada suatu waktu, ia bepergian ke negeri Syam. (Di sana), ia melihat mereka (ahli Syam) menyembah patung berhala. Kemudian ia menganggap hal itu baik dan menyangkanya sebagai suatu kebenaraan, karena Syam adalah tempat para rasul dan turunnya kitab suci, sehingga mereka memiliki keutamaan dalam hal itu daripada ahli Hijaz dan yang lainnya."


“Dia pun kembali ke Makkah, (sambil) membawa patung Hubal dan menempatkannya di dalam Ka’bah, serta mengajak ahli Makkah untuk berbuat syirik. Ajakan itu mereka terima. Sedangkan ahli Hijaaz mengikuti ahli Makkah dalam agama, karena ahli Makkah adalah pemilik Ka’bah dan penduduk tanah suci”. [5]


Kemudian Amru bin Luhai mendapatkan patung-patung kaum Nabi Nuh yang telah terpendam akibat banjir taufan dan membagi-bagikan patung tersebut kepada kabilah-kablah Arab. Hal ini diceritakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab:



“Amru bin Luhai adalah seorang dukun yang memiliki jin. Berkatalah jin tersebut kepadanya:


“Percepat perjalanan dan kepergianmu dari Tuhamah dengan kebahagian dan keselamatan. Datangilah Jeddah, nanti kamu akan menemukan patung-patung yang telah jadi. Bawalah ke Tuhamah, dan jangan hadiahkan. Serulah bangsa Arab untuk menyembahnya, nanti mereka akan menerimanya,”


Lalu ia mendatangi Jeddah dan mencari patung-patung tersebut dan membawanya ke Tuhamah. Ketika datang musim haji, maka ia mengajak bangsa Arab untuk menyembahnya”. [6]


Oleh karena itu Rasulullah bersabda :


Aku melihat Amru bin A’mir bin Luhai menyeret ususnya di neraka, dan ia adalah orang pertama yang mencetuskan ajaran As Sayaaib[7]. [8]


Patung-patung tersebut adalah Wadd, Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr. Allah menyebutkan dalam flrmanNya, (artinya):


Nuh : 23 Dan mereka berkata “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd. Dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”.



Kemudian paganisme merambah ke seluruh bangsa Arab. Hingga akhirnya, setiap rumah memiliki berhala sendiri-sendiri dari berbagai macam benda yang mereka ciptakan sendiri-sendiri. Abu Ar Raja’ Al ‘Atharisi menceritakan:

Kami menyembah sebuah batu. Jika kami dapati batu lain yang lebih bagus, maka kami buang (yang pertama) dan kami ambil yang kedua. Jika kami tidak mendapati batu, maka kami kumpulkan tanah dan kami bershadaqah dengan susu, dan kami thawafi (kumpulan tanah tersebut). [9]



Diantara mereka ada yang menyembah pohon atau malaikat, dan menyatakan malaikat adalah anak perempuan Allah, sebagaimana dikisahkan Al Qur’an, artinya :


An Najm:2l Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki’laki dan untuk Allah (anak) perempuan?


Ada juga yang menyembah jin, lalu jinnya masuk Islam, dan penyembahnya masih menyembahnya. Ibnu Mas’ud menyatakan:


Dulu ada sejumlah orang yang menyembah sejumlah jin, lalu jin tersebut masuk Islam dan mereka (para penyembahnya) tetap berada pada agama mereka. Lalu turunlah firman Allah, (artinya) Al Isra’: 57 : Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNya dan takut akan adzabNya. Sesungguhnya adzab Rabb-mu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.


Tentang penyembahan mereka kepada malaikat dan jin, telah Allah kisahkan dalam firmanNya, (artinya):


Saba’:40-4l Dan (ingatlah) hari (yang pada waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Allah berfirman kepada malaikat’- “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikat itu menjawab: “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka, bahkan mereka telah menyembah jin, kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”.


Bangsa Arab memiliki thaghut-thaghut, berupa rumah keramat menyamai Ka’bah. Diantaranya Al Laata dan Uzza. Mereka memperlakukannya sebagaimana memperlakukan Ka’bah.


Al Hunafa’

Meskipun pada waktu hegemoni paganisme di masyarakat Arab sedemikian kuat, tetapi masih ada beberapa orang yang dikenal sebagai Al Hanafiyun atau Al Hunafa’. Mereka tetap berada dalam agama yang hanif, menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya serta menunggu datangnya kenabian.


Diantara mereka adalah Qiss bin Sa’idah Al lyaadi, Zaid bin ‘Amru bin Nufail, Waraqah bin Naufal, Umayah bin Abi Shalt, Abu Qais bin Abi Anas, Khalid bin Sinan, An Nabighah Adz Dzubyani, Zuhair bin Abi Salma, Ka’ab bin Luai bin Ghalib, Umair bin Haidab Al Juhani, ‘Adi bin Zaid Al ‘Ibadi, penyair Zuhair bin Abi Salma, Abdullah Al Qudhaa’i, Ubaid bin Al Abrash Al Asadi, Utsman bin Al Huwairits, Amru bin Abasah Al Sulami, Aktsam bin Shaifi bin Rabaah dan Abdul Muthalib kakek Rasulullah[10]



--------------------

Catatan kaki:

[1] As Sirah An Nabawiyah Abdul Qadir Abu Faaris, Op.Cit. hlm.82.

[2] As Sirah An Nabawiyah Fi Dhu’l Al Mashadir Al Ashliyah. Op.Cit. hlm.71

[3] Ibid. hlm,71 -72

[4] Ibid, hlm. 71.

[5] Mukhtashar Sirat Ar Rasul, karya Muhammmad bin Adul Wahab At Tamimi, tahqiq Hana’ Muhammad Jazaamati, Cetakan Keenam, Tahun 1421 H, Dar Al Kitab Al Arabi, Bairut, hlm.15.

[6] Ibid, hlm. 50.

[7] As-Saya’ib: ‘Adalah onta yang tidak boleh diberikan beban dan dikhususkan untuk nadzar, sehingga dilepas makan minum apa saja dan tidak menjadi tunggangan.’

[8] HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Al Manaqib, Bab Qishah Khuza’ah, no. 3260.

[9] HR Al-Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Maghazi, Bab Wafd Bani Hanifah Wa Hadits Tsumamah bin Atsaal, no. 3027.

[10] As Sirah An Nabawiyah Fi Dhu’l Al Mashadir Al Ashliyah. Op.Cit. hlm.72 dan 77.



[Sumber: Majalah As Sunnah, Edisi 01, Tahun IX, 1426H, 2005]

Minggu, 30 Mei 2010

SEJARAH ISLAM NUSANTARA

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.



Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?



Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.



Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.




Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.




Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.




Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.



Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.




Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.




Temuan G. R Tibbets


Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.



“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China. Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.



Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).



Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.




Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara

Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.




Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.




Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.
Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!



Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.




Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur. Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan.



Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam.



Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)
Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M. Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).



Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39). Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.



Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.
Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman. Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang.



Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.



Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).
Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.



Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.



Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.




Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..
Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.



“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).



Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.




Gujarat Sekadar Tempat Singgah

Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.



Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa. Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah. (Rz)



Dari: eramuslim - swaramuslim





Minggu, 09 Mei 2010

ISLAM DI NEGERI CINA

SEJARAH
Islam masuk ke negeri Tiongkok, menurut catatan sejarah yaitu pada akhir masa dinasti Sui atau menjelang berdirinya dinasti Tang (abad ke-7 M), pada awalnya dibawah oleh saudagar-saudagar arab yang datang di sekitar bandar kanton (Guang Dong), dan bandar Guanzhou (bahkan sampai sekarang masih ada keturunan Arab tinggal di kota ini dan banyak makam para ulama Islam Tionghoa keturunan Arab di kota tersebut).

Islam mengalami masa kegemilangan pada zaman dinasti Ming (1368-1644), pada masa sebelumnya, dinasti Yuan (1279-1368) orang-orang muslim banyak menduduki pos-pos penting di pemerintahan, seperti jabatan tinggi di berbagai jawatan kementerian serta sekretariat negara.

Dinasti Yuan dibangun oleh suku mongolia di Tiongkok. Orang mongolia memang mahir berperang namun tidak mengerti administrasi dan pengelolahan negara. Oleh karena bangsa Han yang ditaklukannya lebih maju peradabannya maka timbul keinginan untuk mengangkat keturunan muslim untuk menduduki jabatan negara karena faktor politik tidak memungkinkan mengangkat orang-orang Han pada waktu itu. Namun bukan berarti bahwa umat Islam waktu itu tidak mengalami tekanan.

Karena perbedaan latar belakang budaya yang besar sekali antara pemerintah Mongol dan kebanyakan muslim pada saat itu menyebabkan orang muslim juga diperlakukan tidak adil sehingga terdorong untuk mempelopori berdirinya dinasti Ming dengan mengadakan perlawanan terhadap dinasti Yuan. Pada masa dinasti Ming itu banyak pejabat negara yang beragama Islam, dan pernah kaisar Ming Cheng Zhu, mengirim misi muhibah persahabatan yang dipimpin oleh laksaman Zheng He (Cheng Ho) yang muslim menuju ke negara asia tenggara, India, semenanjung Arab dan Afrika barat.

Setelah dinasti Ming runtuh bangsa Man dari utara menggantikan pemerintahan Ming mendirikan dinasti Qing. Pada zaman itu umat islam yang tinggal di china barat laut mendapat tekanan dari kerajaan Qing, karena banyak dari mereka yang pada waktu itu masih mendukung dinasti Ming. Banyak perlawanan yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan muslim kepada dinasti Qing, dan belakangan diikuti pula oleh bangsa Han sehingga akhirnya pendiri Republik Tiongkok (Republic Of China) dr. Sun Yat Zen (Sun Zhong Shan) di dalam San Min Zhu Yi (tiga landasan pokok negaranya mengakui keberanian pahlawan-pahlawan muslim sebagai sumber inspirasi utama perjuangan kebebasan negara Tiongkok modern).


Pada masa Republik Tiongkok ini (1911-1949), umat islam banyak menduduki pos-pos kementerian negara dan menjadi petinggi partai Kuo Min Tang, pada waktu itu banyak madrasah didirikan. Menurut catatan pemerintah nasionalis Kuo Min Tang yang sampai sekarang menguasai Taiwan, di Beijing terdapat setidaknya 40 masjid (yang hingga kini di bawah pemerintahan komunis) Republik Rakyat China yang dialih-fungsikan menjadi fabrik hingga tinggal 3 masjid saja yang tersisa.

Keadaan muslim sesudah berdirinya Republik Rakyat China (People of Republic of China) tahun1949 di bawah Gong Chan Tang (Partai komunis China) sebagai partai tunggal dalam negara pada mulanya sangat sulit, terutama pada saat revolusi kebudayaan (1966-1976), waktu itu umat islam dan umat beragama lain dilarang beribadah, al-qur'an dibakar dan tidak diperkenenkan untuk membacanya, masjid-masjid ditutup dan dialih-fungsikan untuk kepentingan olahraga, setelah era keterbukaan (1980-sekarang), umat islam kembali menghirup udara segar, masjid-masjid berfungssi kembali segala kegiatan islam berkembang pesat, taraf kehidupan muslim juga maju.

Sekarang ini telah ada asosiasi Islam Republik Rakyat China (Zhongguo Yisilan Xie Hui), juga banyak pusat kajian Islam dan pesantren berdiri, seperti salah satunya Qinghai; Qur'an Institute, di ibukota propinsi Qinghai, Xining. Bahkan sebagian produk makanan di china telah mencantumkan produk halal atas rekomendasi dari Asosiasi Islam RRC. Sekarang bahkan pemerintah telah memfasilitasi haji lewat beijing dan Lanzhou (propinsi Gansu), beberapa wilayah yang mayoritas muslim diberikan hak otonomi untuk melaksanakan kebebasan beragama dan menjalankan kebudayaannya sendiri, bahkan banyak orang tua muslim yang menyekolahkan anak-anaknya ke timur tengah untuk memperdalam Islam.

PERANAN MUSLIM CHINA TERHADAP NEGARANYA

1. Dalam bidang agama dan pendidikan
Banyak cendekiawan islam sekarang ini yang mahir dalam ilmu-ilmu keislaman, seperti Majihan (alumnus univ Al-Azhar) yang menerjemahkan Qur'an dari bahasa Arab ke bahasa Tionghoa, dan kemudian salinan terjemahannya dijadikan acuan cetak oleh pemerintah Arab Saudi untuk mencetak terjemahan Qur'an bahasa Tionghoa yang telah disebarkan ke seluruh dunia. Kemudian Wang Jingzhai yang menerjemahkan Al Qur'an dalam bahasa Tongkok dalam tiga tahapan yaitu terjemahan ilmiah, sederhana, dan mudah supaya dapat dipelajari oleh pembaca yang mempunyai tahapan pengetahuan yang berbeda, dll.

2. Dalam bidang iptek
Pertama-tama orang Tiongkok yang mengembangkan penemuan bangsa Han adalah orang-orang Islam seperti mesiu. Orang Islam yang pertama-tama memanfaatkannya untuk dibuat bahan senjata meriam sehingga meriam pertama kali disebut Hui Hui Canons (Hui = muslim). Kedua dengan tekhnologi kompas Ma Zheng He (Ma San Bao), mengadakan pelayaran muhibah persahabatan dengan negara-negara lain di luar Tiongkok.

3. Dalam bidang pemerintahan dan militer
Orang-orang muslim selalu dalam barisan nomor depan dalam masalah-masalah kenegaraan seperti dapat kita lihat sejak zaman dinasti Tang, Song, Yuan, Ming hingga pemerintahan republik nasionalis, selalu menempati pos kementerian negara dan jabatan penting lainnya serta dalam bidang militer pun Umar Bai Zhong Si seorang jenderal Kuo Min Tang di masa republik nasionalis telah menyumbangkan keberaniannya demi negara di dalam memimpin tentara republik menghadang agresi Jepang.

KONDISI SEKARANG

Republik Rakyat China dengan populasi yang hampir 1,5 milyar,memiliki 56 suku, dengan bangsa Han menduduki 92%, sisanya adalah suku minoritas, tapi mayoritas bangsa Han tidak beragama sebagian kecilnya menganut Budha, Tao, dan belakangan ini ada yang Nasrani, sedangkan suku yang memeluk agama Islam adalah suku Hui, suku Uighur, Tajiks, Uzbeks, Kazakh, Tatar, Salar, Baoan, Dong Xiang dan Kirgiz. Mereka banyak tinggal diwilayah bagian barat laut,timur laut dan bagian utara tiongkok,seperti di daerah propinsi Gansu, propinsi Qinghai daerah otonomi Ningxia dan daerah otonomi Xinjiang (4 daerah mayoritas), propinsi Shaanxi, Shan Xi, Yunan, bagian barat daerah otonomi Mongolia dalam, propinsi Taiwan dan ibukota Beijing. Secara kasar oleh orang asing yang tidak belajar kebudayaan Tiongkok menggangap bangsa Tionghoa adalah orang Han saja, tapi suku minoritas lainnya juga termasuk bangsa Tionghoa.

Kata Islam dalam bahasa tionghoa disebut huijiao(karena identik dengan suku hui), atau Qingzhen Jiao (merujuk pada kata qing, jernih, murni dan zhen yang berarti sungguh, asli, atau terjemahan arab dari kata halal, karena orang muslim tidak makan babi dan minum arak, juga kebiasaan muslim Tiongkok yang tidak merokok?

Masjid dinamai qingzhen si, atau disebut pula Tianfang Jiao merujuk pada kata Tianfang yang berarti rumah tuhan atau baitullah, baru belakangan disebut Yisilan Jiao, penganutnya disebut huizu (merujuk pada suku Hui) atau musilin (muslim), peninggalan berupa masjid, yang tertua di kota Guangzhou (propinsi Guangdong) masjid Huai Sheng, dibangun pada masa dinasti Tang, masjid Feng Huang di kota Hangzhou (propinsi Zhejiang), dibangun pada masa dinasti Song utara, masjid Quanzhou dipropinsi Fujian juga dibangun pada masa dinasati Tang, kemudian masjid Tian-e di kota Yangzhou (propinsi Zhe Jiang).

Selain itu masjid lainnya yang terkenal adalah masjid Niujie, masjid Huashi dan masjid Dongsi di kota Beijing yang berasitektur khas Tiongkok, masjid Shaan Xi di kota Xi'an, masjid Dongguan di kota Xinning serta masjid Ai Di Ga di daerah Kashi di Xinjiang yang disebut masjid terbesar di china (dalam perayaan Idul kurban bisa menampung 7000-8000 jama'ah. Yang menarik perhatian; muslim di tiongkok merayakan idul kurban kebih meriah dan lebih besar dari perayaan idul fitri.)

Sumber:
  • Zhongguo wenxue yu zhongguo wenhua zhishi,(chinesse literature and chinese culture), terbitan dongnan university nanjing tahun 2005
  • Fan gu xi yang,terbitan ke xue pu ji press beijing,tahun2005
  • Illustrated history of china,beijing press,tahun 2004
  • Perkembangan islam di tiongkok,karya DR ibrahim tian ying ma ,terbitan bulan bintang
  • China radio international website

Photobucket