Photobucket

Kamis, 15 Januari 2009

SOSOK SUFI SEJATI

Dalam Islam, tasawuf merupakan aspek penting yang mempunyai porsi besar dalam mewarnai corak keberagamaan dan sebagai jalur resmi pendakian spiritual, tasawuf banyak menimbulkan sikap kontroversi. Dalam tasawuf, dijelaskan sedemikian rupa bagaimana mengharmoniskan hubungan antara manusia dan Tuhannya, manusia dan sesamanya, manusia dan dirinya sendiri, serta manusia dan anggota-anggota masyarakatnya, sehingga terbentuk pribadi yang mempesona (insân kâmil) yang mampu berkomunikasi langsung dengan Tuhannya tanpa mengisolasi diri dari realitas kehidupan.

Sufi bukan hanya orang yang mementingkan formalitas agama tanpa memahami esensinya. Dengan kata lain, sufi sejati adalahmereka yang mampu mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari élan-dasar dari setiap ritualitas ibadah yang senantiasa mereka kerjakan. Karena pesan terdalam dari setiap agama tak lain adalah moralitas. Baik agama samawi maupun agama ardhi melandaskan setiap ajarannya pada aspek moral.

Formalitas agama tidak sepenuhnya menjamin kesalehan individual, apalagi kesalehan sosial. Memang benar, bagi seorang yang beragama menjalankan ritualitas keagamaan adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Begitu juga dengan ajaran-ajaran yang bersifat baku dan irrasional lainnya, diperlukan tingkat loyalitas dan keyakinan penuh sebagai dasar untuk melaksanakannya.

Ironisnya, kita banyak menemukan orang yang sangat taat menjalankan formalitas agamanya, tetapi tidak bisa diterima dengan baik oleh lingkungannya, malahan mereka dicap sebagai orang yang individualis yang tidak mempunyai kepedulian sosial dan kepekaan lingkungan yang tinggi.
 

Antara Tasawuf dan Syari’ah

Menurut Harun Nasution, intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya tasawuf, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhannya dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan ini dapat mengambil bentuk ittihâd (union mystic); bersatu dengan Tuhan.
Nampaknya inilah yang menjadi akar perdebatan panjang antara tasawuf dan syari’ah. Bagi yang setuju dengan praktek-praktek tasawuf menyatakan bahwa sebenarnya tasawuf merupakan perkembangan esoterik yang sedikit banyaknya memang terkena pengaruh dari luar. Misalnya mereka dianggap mewarisi asketisme (kepertapaan) dan praktek-praktek monastic dari Nashrani, menjalani peniadaan diri (nirwana) dari Budhisme, keinginan untuk mengetahui Realitas Mutlak melalui pemurnian jiwa dan iluminasi dari gnotisme, serta pandangan kegandaan (multiplicity) dari kebersatuannya Neoplatonisme.

Sementara bagi orang yang kontra dengan praktek-praktek tasawuf secara tegas menyatakan kekufuran terhadap mereka yang menjalankan praktek-praktek sufisme tersebut. Mereka beralasan bahwa praktek-praktek tasawuf telah banyak menyimpang dari apa yang digariskan oleh Rasulullah Saw, seperti faham wahdatul wujud (unity of existency) dan imanesinya Tuhan. Ini semua jelas-jelas bertentangan dengan doktrin-doktrin fundamental dalam Islam.

Selanjutnya kalau kita lihat fenomena lain, yaitu praktek-praktek syari’ah itu sendiri, ternyata tidak sepenuhnya bersih dari cacad. Artinya, sebegitu banyak kita menemukan orang-orang yang hanya mementingkan aspek-aspek lahiriah (eksoteris) saja tanpa menggubris sedikitpun terhadap aspek-aspek batiniyah (esoteris). Sehingga yang didapat adalah formalitas agama tanpa substansi atau sekedar penunaian seruan agama yang dimanfaatkan untuk meraih kepentingan diri sendiri yang cenderung bersifat duniawi.
Sebaliknya, rasa keagamaan adalah pemahaman secara intens dan pengamalan, sehingga terjadi keselarasan dalam hidup menyembah Tuhan dan hidup bermasyarakat. Dengan begitu, agama dan pemeluknya tidak akan terisolasi dari realitas kehidupan yang memang penuh tantangan.
 

Syari’ah dan Haqiqah

Syeikh Ahmad Sirhindi mengartikan kata syariah dalam dua makna. Pertama, dalam pengertian biasa, yaiu undang-undang atau peraturan yang berasal dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang berkenaan dengan aspek ibadah, moralitas, kemasyarakatan, ekonomi, dan pemerintahan. Kedua, dalam pengertian luas yang mencakup semua aspek kepercayaan, nilai dan ideal, pengakuan akan adanya realitas transendental: Tuhan, malaikat, hari kiamat, wahyu, kerasulan, dan lainnya, serta semua metode pendakian spiritual dalam upaya mencari keridhaan ilahi.

Sedangkan haqiqah dalam kepustakaan sudi berarti persepsi atas realitas menurut pengetahuan mistik; dan ia amat berbeda dengan pemahaman rasional atas kenyataan sebagaimana yang dirumuskan oleh para filosof di satu pihak, dan juga keimanan sebagaimana yang diyakini oleh orang awam di lain pihak. Pengertian ini biasanya dikemukakan dalam konsep ma’rifah.

Bagi para sufi, haqiqah lebih sering dipandang sebagai makna sesungguhnya dari kehidupan agamis. Misalnya saja tentang realitas (haqiqah) iman, ketulusan dan tauhid; apakah makna sesungguhnya dari esensi ibadah, salat, dan zikir; apakah arti sesungguhnya dari cinta, takut, khusyuk, bersyukur, bersabar, berserah diri, dan menerima (ridha); serta apakah sebenarnya makna keseluruhan takwa, ihsan, dan kesempurnaan kehidupan beragama.
Bagaimana para sufi memandang kenyataan-kenyataan tersebut (haqaiq)? Apakah mereka percaya bahwa syari’ah telah mendefinisikannya, mengungkapkannya dengan jelas dan pasti tentang apa yang mereka maksudkan, serta menjelaskan bagaimana mewujudkannya secara benar dan utuh? Ataukah ada piranti lain untuk memahami realitas tersebut, seperti melewati pengetahuan dan pengalaman mistiknya para sufi, kasyaf dan penglihatan batinnya, serta melalui thariqah dan suluk guna menguasainya. Pendeknya, apakah hubungan antara syari’ah dan haqiqah?

Terhadap pertanyaan ini muncul berbagai pandangan di kalangan para sufi. Satu pandangan menyatakan bahwa syari’ah telah mendefinisikan apakah sesungguhnya kehidupan agamis yang benar itu. Syari’ah bukan sekedar kumpulan kode atau peraturan yang mengatur tindak lahiriah. Tetapi syari’ah juga menjelaskan tentang makna keimanan, tauhid, cinta, syukur, sabar, ibadah, zikir, jihad, takwa, dan ihsan, serta menunjukkan bagaimana caranya menggapai realitas tersebut. Syari’ah berkaitan dengan perilaku lahiriah dan juga keadaan batiniyah dari fikiran dan kehendak; dengan iman dan kebajikan, motif dan niat; perasaan dan emosi. Itulah kedua bentuk (shurah) dan kenyataan (haqiqah). Syari’ah adalah kesatuan yang utuh.

Pandangan lain yang juga banyak dianut para sufi adalah pendapat yang menyatakan bahwa syari’ah sesungguhnya merupakan kode hukum yang mengatur kehidupan lahiriah. Syari’ah berkaitan erat dengan struktur lahiriah kehidupan agamis, tetapi tidak berkaitan dengan kenyataan batiniah. Kenyataan iman dan kehidupan agamis terletak di luar jangkauan syari’ah. Syari’ah tanpa haqiqah ibaratnya seperti sosok tanpa kenyataan, tulang tanpa sumsum, atau sekam tanpa isi.

Patuhi Syari’ah

Namun demikian, sebagian besar kaum sufi yang memiliki pandangan kedua tersebut tetap mematuhi ketentuan syari’ah. Mereka menjauhi apa yang dilarang oleh syari’ah, melaksanakan apa yang diwajibkan, dan menunaikan apa yang dianjurkan. Mereka tidak pernah berfikir bahwa di setiap waktu mereka mungkin terlepas dari syari’ah.
Tetapi ada juga sekelompok kecil dari kalangan sufi yang berpendapat bahwa mereka diwajibkan menaati syari’ah sampai mereka mencapai ma’rifah. Setelah mencapai ma’rifah, maka kewajiban yang ditetapkan oleh syari’ah tidak berlaku lagi bagi mereka. Apabila mereka tetap melaksanakan syari’ah, maka dasarnya bukan karena mereka memerlukannya, tetapi karena mereka mengharapkan agar orang-orang yang belum mencapai pemahaman atas kebenaran hakiki tetap tunduk dan patuh menjalankan syari’ah. Mereka beranggapan bahwa syari’ah hanya diperuntukkan bagi orang awam yang belum mengetahui kebenaran sejati. Sementara bagi mereka yang telah mencapai tingkat pemahaman sejati, tidaklah perlu mentaatinya.

Faktor-faktor lain yang mendorong kaum sufi untuk secara tidak sabar meletakkan haqiqah di luar syari’ah adalah sikap pribadinya. Bagi sebagian orang, mereka beranggapan bahwa kehidupan bertafakkur, berserah diri, zikir, dan merenung merupakan kehidupan sejati dan lebih nyata dibandingkan dengan kehidupan yang menggabungkan antara zikir dan pelayanan terhadap sesama manusia, keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, perjuangan untuk tatanan masyarakat yang demokratis dan adil, dakwah, dan jihad.
Sufi yang bersikap seperti ini akan cenderung mengecilkan pentingnya kehidupan sosial-kemasyarakatan dan hanya mementingkan pengalaman-pengalaman spiritual yang bersifat pribadi dan tertutup, seperti fana dan ma’rifah.

Sufi sejati hanyalah orang yang dapat menggabungkan keduanya, yaitu aspek tasawuf dan aspek syari’ah. Kemudian mengamalkannya dengan seimbang, karena keduanya merupakan dua sisi mata uang dari kehidupan beragama yang hakiki.
Mereka yang hanya mementingkan aspek syari’ah tanpa melandaskannya pada aspek batiniyah, hanya akan mendapatkan kehampaan belaka. Hal ini disebabkan karena hati mereka tidak pernah tersentuh oleh sifat-sifat ketuhanan yang sepenuhnya didapat dari praktek-praktek tasawuf melalui berbagai macam olah ruhani yang tidak mudah.

Begitu juga sebaliknya, mereka yang hanya mementingkan aspek tasawuf tanpa mengindahkan aturan-aturan formal syari’ah, hanya akan menjadi manusia yang individualis yang cenderung mengisolasi diri dari realitas kehidupan dan kurang memberikan manfaat bagi orang-orang yang hidup di sekelilingnya.

Wallahu A’lamu bishshawab.

0 komentar:

Posting Komentar

Photobucket