ALQURAN MEMBAWA KEBERKAHAN

Dan ini (Al Qur'an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberikan peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Qur'an), dan mereka selalu memelihara shalatnya. (Surat Al An'aam: ayat 9)

Mukhjizat AlQuran

"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).

IQRA'

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

ALQURAN TERPELIHARA

"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).

DI BAWAH NAUNGAN ALQURAN

Ya Allah, jadikanlah kami ahlul Quran dan jangan Engkau haramkan kepada kami untuk memahami Al-Quran, dan berikanlah kepada kami taufik dan hidayahMu agar kami senantiasa mampu untuk mengamalkan Al-Quran...

Photobucket

Senin, 26 Mei 2008

IMAN, ILMU PENGETAHUAN, DAN UJIAN

Allah s.w.t. berfirman:

Artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut, [29]: 2)

Ulama besar dalam bidang tafsir kenamaan dari Iran, al-Thabathaba’i, menarik kesimpulan dari ayat tersebut sebagai berikut. Allah swt menghendaki keimanan bukan sekedar mengucapkan, “Kami telah beriman kepada Allah”, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah hakikat iman yang tercermin pada keteguhan menghadapi gelombang fitnah dan penganiayaan, tidak tergoyah oleh perubahan keadaan dan situasi, tetapi terus menerus teguh bertahan kendati penganiayaan datang silih berganti. Ini karena manusia tidak akan dibiarkan mengucapkan “Kami telah beriman”, tanpa diuji untuk diketahui hakikat iman yang bersemai dalam hati mereka. Fitnah yakni penganiayaan adalah ujian dan godaan yang sudah menjadi sunnatullah bagi setiap manusia dari zaman ke zaman. Dengan ujian inilah, dapat diketahui siapa di antara mereka yang berhasil dan siapa di antara mereka yang gagal. (Quraish Shihab, 2004:)

Dari ayat tersebut kita bisa mengukur kualitas keimanan seseorang. Semakin tinggi frekuensi ujian dan kesabaran dalam menerimanya, maka tingkat keimanannya pun tinggi. Sebaliknya semakin rendahnya kesabaran seseorang ketika menerima ujian, maka kualitas keimanannya pun semakin rendah.

Cobaan dan ujian yang dialami manusia terdiri dari berbagai macam bentuk dan jenisnya. Adakalanya berupa fitnah, cerca dan nista, ada yang berupa kesulitan dalam kehidupan dan ekonomi sehingga ditimpa kemiskinan yang dahsyat, ada pula ujian berupa kedudukan yang tinggi, kehidupan dan ekonomi yang sangat mapan dan kesempatan-kesempatan yang menggiurkan dalam kemewahan duniawi.

Dari segala macam bentuk ujian dan cobaan sebagaimana disebutkan diatas, secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua bagian. Dua bagian itu adalah ujian yang dirasakan menyenangkan, seperti kedudukan yang tinggi, kekayaan, dan kemewahan duniawi, dan ujian yang dirasakan sangat menyedihkan, seperti kemiskinan, keterpurukan dalam kedudukan, atau jabatan, dan kesulitan-kesulitan untuk meraih kesempatan dalam kemewahan duniawi.

Dari dua macam ujian tersebut, baik yang menyenangkan ataupun yang mnyedihkan selalu dihadapai oleh setiap orang. Mereka yang memperoleh kesuksesan atau lulus dengan sangat baik, adalah mereka yang apabila diuji dengan sesuatu yang menyenangkan, mereka senantiasa bersyukur kepada Allah swt. Apabila mereka diuji dengan sesuatu yang menyedihkan, mereka bersikap sabar dengan ketulusan yang tinggi.

Sebaliknya mereka yang gagal dalam ujian tersebut, adalah mereka yang apabila dicoba dengan karunia dan sesuatu yang menyenangkan mereka tidak pernah bersyukur, tetapi terus merasa kurang. Mereka tidak pernah puas dan senantiasa bersikap rakus terhadap kemewahan duniawi yang menggiurkan secara lahiriah. Termasuk mereka yang gagal dalam ujian itu adalah mereka yang dicoba dengan kesusahan, kesulitan, dan kesedihan, mereka tidak bersikap tabah dan sabar. Sebaliknya mereka bersikap mengeluh, mencaci maki orang lain, dan mencerca dirinya sendiri. Muslim yang baik adalah mereka yang apabila diuji dengan kenikmatan, mereka bersyukur dan apabila diuji dengan musibah, mereka selalu bersikap tulus dan bersabar.

Kesabaran di sini bukan berarti menerima apa adanya terhadap segala sesuatu yang mereka dapati dalam kehidupan. Kesabaran sesungguhnya merupakan upaya maksimal seseorang untuk memperoleh nasib yang lebih baik seraya memohon pertolongan Allah swt. Setelah itu, apa yang dihasilkan dari upayanya tersebut, ia bertawakkal (berserah diri) kepada Allah swt dan merasa puas (qana’ah) atas segala pemberian-Nya.

Jerih payah untuk menghasilkan kesejahteraan dan keselamatan dalam mengarungi kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan urgensi pendidikan karena pendidikan mengantarkan seseorang untuk memiliki ilmu yang bermanfaat. Pendidikan merupakan faktor utama yang akan menghantarkan seseorang pada derajat yang tinggi dalam hidupnya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt,

“Niscaya Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan (dengan) beberapa derajat...” (QS. Al-Mujadilah [58]:11)

Ayat tersebut mengaitkan antara iman dan ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang erat demi mencapai kebahagiaan di dunia dan di akherat. Sebab ada di antara kita, orang yang berilmu tetapi tidak beriman. Orang seperti ini, ilmunya akan mengarah pada dekadensi moral, materialistik, budaya korupsi, dan nilai-nilai amoral lainnya. Dengan demikian, ilmu tanpa iman hanya akan mencapai ‘derajat’ dunia saja, di akherat kelak, ia akan celaka.

Pendidikan yang Bermoral

Dalam sebuah hadis shahih riwayat Al-Bukhari, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidak datang suatu kaum (generasi) kecuali mereka lebih buruk dari generasi sebelumnya.” Hadis ini tidak bisa dipahami secara leteral atau leksikal begitu saja. Banyak para ilmuwan yang mampu menemukan beberapa peralatan teknologi canggih yang belum ditemukan oleh para pendahulunya. Sendi-sendi kehidupan semakin hari semakin maju dan modern. Dan tentu saja, hal ini merupakan bukti prestasi yang membanggakan dan bermanfaat bagi umat manusia di seantero dunia.

Oleh karena itu, hadis di atas akan lebih tepat dipahami bahwa semakin hari, kadar akhlak atau moralitas umat manusia semakin menurun. Hal ini ditandai dengan banyaknya perilaku kejahatan dan tindakan amoral serta asusila dewasa ini yang belum pernah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Yang dahulu dianggap tabu, tetapi sekarang menjadi blak-blakan. Pendek kata, rasa malu pada manusia sekarang sudah semakin tipis dan memudar.

Pendidikan memang penting. Tetapi menanamkan nilai-nilai pendidikan jauh lebih penting. Di sinilah perlu keteladanan dari seorang pendidik pada anak-anak didiknya. Seorang anak akan lebih memilih orang tuanya sebagai figur pertama yang mewarnai keseharian hidupnya. Setelah itu teman, lingkungan, dan para gurunya di sekolah.

Bahkan tidak bisa dipungkiri, media massa, baik cetak maupun elektronik, ikut andil dalam membentuk watak dan perilaku seseorang. Tontonan dan bacaan akan secara langsung diserap oleh masyarakat, tanpa ada batas yang menyekatnya. Oleh karena itu, peran pendidik, baik guru maupun orang tua sangat signifikan dalam mengarahkan mereka untuk memilah dan memilih setiap informasi yang diperolehnya. Dengan demikian, nilai-nilai negatif yang ada di media massa dan lingkungan sekitar akan dijauhi oleh mereka. Inilah pendidikan yang bermoral.

Dari uraian di atas, penulis menemukan adanya hubungan yang kuat antara iman, pendidikan, dan ujian untuk mencapai kebahagiaan. Seseorang yang beriman dan berilmu pengetahuan akan sukses jika melewati tangga-tangga ujian dengan penuh kesabaran dan ketawakkalan.

Ujian bisa berupa kemiskinan maupun kekayaan. Ujian pun bisa berupa pangkat dan ilmu pengetahuan. Banyak orang yang lulus diuji dengan kefakiran dan kemiskinan. Tetapi hanya sedikit orang yang lulus diuji dengan kekayaan dan kesejahteraan. Ketika miskin dan susah atau ditimpa bencana, hatinya dekat kepada Sang Pencipta. Tetapi ketika kaya dan bahagia, ia terlena dan melupakan Allah yang telah memberikan anugerah kepadanya. Bahkan lebih parah lagi, kebanyakan manusia tidak bisa bersyukur atas karunia-Nya. Ketika ditimpa musibah, mereka berkeluh kesah, dan ketika kaya, mereka kikir untuk menafkahkan sebagian rizki yang diamanatkan-Nya. Allah s.w.t. berfirman:

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS. Al-Ma’arij [70]:19-21)

Oleh karena itu, siapa saja di antara mereka, orang beriman dan berilmu, yang lulus dari ujian tersebut, maka Allah s.w.t. akan meninggikan derajatnya. Sebaliknya, orang yang tidak lulus menerima ujian-Nya, ia akan dicampakkan oleh-Nya pada derajat yang rendah. Naudzu billah.

LARANGAN SUAP MENYUAP

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَرْسَلَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ.

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا محمد وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، واتَّقُوا اللهََ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.

Jamaah Shalat Jumat rahimakumullah

Korupsi dalam bentuk menerima hadiah bagi para pejabat telah lama terjadi sejak masa Nabi. Perbuatan ini dilarang keras oleh Rasulullah saw, bahkan dianggap sebagai penyimpangan kedudukan yang sangat bertolak-belakang dengan nilai-nilai agama Islam. Di hari kiamat nanti, orang-orang yang melakukan tindakan ini akan memikul hadiah tersebut di atas pundaknya. Nabi saw sendiri mengetahui hal itu ketika ada seorang pejabat yang ditugasi untuk mengumpulkan harta zakat, menerima beberapa pemberian dari masyarakat saat bertugas.

Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Humaid al-Sa’idi, salah seorang sahabat Nabi, menuturkan, “Rasulullah saw menugaskan pada seorang pria dari Bani Asad bernama Abdullah al-Latbiah ke suatu tempat untuk mengumpulkan harta zakat. Sepulangnya dari tugas, ia menghadap Nabi saw dan berkata, “Harta yang ini adalah hadiah untuk engkau, sedangkan harta yang itu mereka hadiahkan untuk saya.”

Mendengar laporan tersebut, Rasulullah saw bangkit menuju mimbar untuk memberikan pengarahan.

مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ فِي بَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَنَالُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٌ تَيْعِرُ ... الحديث (رواه مسلم)

"Apa yang terjadi pada seorang petugas yang telah kusuruh ini, dengan enak ia mengatakan harta ini adalah untuk engkau dan harta yang lainnya adalah hadiah untuk saya. Tidakkah jika ia duduk santai di rumah orang ayahnya atau rumah ibunya,, apakah hadiah itu akan tetap datang padanya atau tidak? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, salah seorang kalian tidak memperoleh sedikit pun dari hadiah (ketika menjadi pejabat) kecuali di hari kiamat nanti ia datang dengan memikulnya, di pundaknya terdapat unta atau sapi betina atau kambing yang mengeluarkan suara khasnya masing-masing...” (HR. Muslim, No. 3413)


Hadirin sidang shalat Jumat yang berbahagia

Pada umumnya, penyakit kronis di atas hanya menimpa pada orang-orang yang tidak menghayati ajaran agamanya. Mereka shalat, zakat, puasa, dan berangkat haji, tetapi hati mereka tetap jauh dari mengingat Allah sehingga melupakan tujuan hidup yang sebenarnya. Dengan demikian, mereka terlena dengan gelimang harta dunia demi mengejar kebahagiaan duniawi dengan mengumpulkan kekayaan di dunia yang fana ini.

Konotasi Hadiah

Hadirin rahimakumullah

Secara etimologi, kata hadiah berasal dari bahasa Arab; hada-yahdi-hadiyyah, yang berarti kumpulan atau himpunan (Al-Jauhari dalam Kamusnya al-Shihah). Sedangkan hadiah secara terminologi adalah sejumlah harta yang diberikan seseorang pada orang lain tanpa ada syarat (perjanjian) di dalamnya. Hadiah juga bisa diartikan sebagai pemberian sejumlah harta tanpa dimulai dengan adanya permintaan, atau tanpa adanya perjanjian untuk memberikan pertolongan.

Memberikan hadiah adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Islam. Abu Ya’la meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling mencintai!”. Ibnu Asakir juga menuturkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling mencintai! Saling berjabat tanganlah, maka rasa benci di antara kalian akan hilang!”. (al-Zarqani:1411 H:IV/333). Selain itu, Imam al-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda, “Saling memberi hadiahlah, karena hadiah itu dapat menghilangkan rasa benci di dalam hati!” (HR. al-Tirmidzi/No.2130)

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa memberi hadiah dianjurkan di dalam Islam. Kendati demikian, para ulama sepakat bahwa perintah tersebut tidak sampai pada hukum wajib, melainkan hanya sunah saja. Dalam kategori ini, menerima hadiah juga dihukumi sunah, sebab di dalamnya terkandung nilai kasih sayang antar sesama manusia (khususnya antara pemberi dan penerima). Hukum ini berlaku bagi kaum muslimin yang tidak memegang posisi jabatan dalam birokrasi atau instansi.

Para pejabat seperti hakim, jaksa, polisi, menteri, atau badan pekerja lainnya, mereka tidak diperkenankan menerima hadiah yang diberikan untuknya, lebih-lebih bagi mereka yang tidak pernah menerima hadiah sebelumnya. Perbedaan hukum ini disebabkan perbedaan posisi mereka bagi orang-orang yang memberi hadiah. Tatkala seseorang memberi hadiah bagi seorang pejabat, maka sesungguhnya terkarang ia menuntut agar si pejabat itu meluluskan keinginannya. Jika hadiah dengan ‘embel-embel’ tersebut diterima si pejabat itu, maka status hadiah itu berubah menjadi salah satu bagian dari kasus penyelewengan kekuasaan atau tindak korupsi.

Hadiah yang Terlarang

Jamaah shalat Jumat yang berbahagia

Sebuah hadits dari Buraidah bahwa Nabi saw bersabda,

مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

"Barang siapa yang diangkat oleh kami sebagai pejabat dengan upah kerja (gaji) yang telah ditentukan, maka harta yang diambilnya selain itu adalah harta korupsi.” (HR. Abu Dawud/No.2554).

Perbedaan antara hadiah dan suap bagi seorang pejabat sangat tipis. Karenanya, lebih hati-hati jika hadiah tersebut dijauhi. Memang, Nabi saw pernah menerima hadiah ketika beliau menjadi kepala pemerintahan, tetapi hal itu tidak bisa digeneralisir, sebab beliau di samping menjadi kepala pemerintahan juga sebagai pemimpin agama (Nabi) yang takut sekali dalam menyelewengkan wewenangnya. Selain itu, hal tersebut juga merupakan salah satu kekhususan bagi beliau yang tidak layak bagi umatnya.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikenal gigih menolak hadiah yang dikirimkan kepadanya. Suatu ketika ada seorang pria memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah saw dulu pernah menerima hadiah, padahal beliau sedang menjabat kepala pemerintahan. Mendengar hal itu, Khalifah Umar dengan tegas menjawab, “Harta tersebut bagi Nabi saw adalah hadiah, sedangkan bagi kita (umatnya) adalah suap. Orang memberikan hadiah kepada beliau karena melihat posisinya sebagai seorang Nabi bukan seorang kepala pemerintahan, sedangkan kita, orang memberikan hadiah karena melihat posisi kita sebagai seorang birokrat.” (Muhammad Ibrahim:1986:186)

Seorang hakim yang diberi ‘bingkisan’, tentu di dalamnya terselip sebuah ‘tujuan’. Pepatah mengatakan, “Ada udang di balik batu”. Jika memang hadiah tersebut tulus diberikan kepadanya, kenapa sebelum menjabat sebagai hakim, ia tidak menerimanya. Oleh karena itu, di balik pemberian tersebut, seorang pemberi bermaksud ingin menyuap si hakim agar mencabut putusan atas kesalahannya, atau mempercepat agar hak-haknya segera diluluskan. Semua itu hukumnya haram.


Kaum muslimin rahimakumullah

Imam al-Ghazali, seorang filusuf yang kemudian terjun ke dunia tasawuf, dalam magnum opusnya Ihyâ Ulûm al-Dîn berkata, “Untuk mengukur ketulusan si pemberi, seorang hakim atau seorang penguasa hendaknya duduk santai di rumah orang tuanya. Dia memberitahukan kepada si pemberi bahwa dirinya telah pensiun atau dipecat dari jabatannya. Jika ada pemberian hadiah yang diterimanya pada saat itu, maka ia berhak menerimanya lagi ketika ia menjabat kembali, tetapi jika hadiah itu tidak diterimanya selama masa ‘cuti’, maka ketika ia menjabat kembali, pemberian itu haram baginya. Dengan demikian, hadiah itu hendaknya ia jauhi sebab mengandung kesyubhatan.” (lihat juga al-Qardhawi dalam kitabnya al-Halâl wa al-Harâm)

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dari Sahabat Tsauban ra, secara jelas mengungkapkan bahwa suap menyuap adalah perbuatan yang terlarang dalam Islam:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ (رواه الحاكم)

"Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, orang yang menerima suap, dan orang yang menjadi pelantara keduanya.” (HR. al-Hakim/No.7068)

Tidak hanya hakim atau penguasa, rakyat jelata pun sebenarnya telah terjangkiti penyakit kronis bernama suap menyuap ini. Meskipun modusnya berbeda tetapi motivasinya sama, yaitu mengambil sejumlah harta yang bukan haknya atau menjadi makelar agar urusan si pemberi segera kelar.

Hadirin yang dimuliakan Allah

Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Nihayah menyebutkan bahwa ada sedikit pengecualian yang menjadikan suap menyuap menjadi boleh. Yaitu ketika pemberian harta itu ditujukan untuk mempermudah perkara yang benar dan adil, atau untuk mencegah kemungkaran dan kedzaliman. Sebab konotasi suap menyuap yang diharamkan adalah pemberian dengan tujuan menjadikan perkara yang benar menjadi salah, sedangkan yang salah menjadi benar. Kebolehan ini tidak berlaku bagi hakim, jaksa, dan penguasa. Karena mengayomi masyarakat dari kedzaliman dan memperlakukan semuanya dengan penuh keadilan adalah tugas mereka yang harus dilaksanakan, tidak perlu menunggu hadiah atau pemberian. (al-Mubarakafuri:tth:IV/471).

Dampak Korupsi Pada Tatanan Masyarakat

Hadirin kaum muslimin yang berbahagia

Apabila ditelaah, mental dan budaya korupsi di kalangan para pejabat dan masyarakat umum akan berdampak pada rusaknya tatanan moral dan lambatnya target kesejahteraan yang merata di setiap lapisan masyarakat. Keadilan nantinya hanya sebuah isapan jempol semata, tidak ada implementasinya sedikit pun. Sebaliknya, kedzaliman semakin merebak dan kemungkaran merajalela. Orang yang sudah terbukti salah dengan mudah dibebaskan, adapun orang yang benar, dengan berbagai cara akhirnya dijebloskan ke penjara.

Di samping itu, budaya korupsi ini akan membuat hak warga ternoda, yang seharusnya ia diakhirkan, dengan ‘amplop’ bisa didahulukan, begitu pula yang seharusnya didahulukan, karena tidak ‘setor’ maka urusannya menjadi ngeloyor. Lebih-lebih jika budaya ini secara diam-diam dilegalkan, maka setiap pejabat akan berlomba-lomba bekerja jika di depannya terdapat ‘lahan yang basah’. Mereka tidak menyadari bahwa mereka diangkat sebagai abdi masyarakat yang harus menjalankan tugas mereka sebaik-baiknya demi mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

قال الله تعالى في القرآن الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم: وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2:188).

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَآئِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

- Teks Khutbah Kedua:

اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، وَأَحُثُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحًمُوْنَ.

قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ اْلقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، وَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْكَرِيْمُ وَنَحْنُ عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْياَءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَقَاضِيَ الْحَاجَاتِ.

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار.

ِعِبَادَ اللهِ! إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ، فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

ETOS KERJA DAN PROFESIONALISME

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَرْسَلَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ.

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا محمد وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، واتَّقُوا اللهََ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.

Bapak-bapak, saudara-saudara, para jamaah yang kami muliakan!

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, umat Islam diarahkan oleh agamanya agar meningkatkan kualitas takwa dan keimanannya secara terus menerus dan berkesinambungan.

Meningkatkan kualitas taqwa, seorang muslim pasti akan meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran agamanya secara baik dan lebih sempurna. Islam mengarahkan umatnya agar memiliki etos kerja yang tinggi dan mengarah pada profesionalisme. Bila kita perhatikan ayat-ayat al-Qur’an yang menekankan tentang iman kepada Allah, selalu diikuti dengan amal yang saleh yaitu bekerja secara baik, dengan etos kerja yang tinggi, rencana yang telah disiapkan dan mengarah pada profesionalisme.

Dalam al-Qur’an banyak kita jumpai bimbingan dan pengarahan pada kegiatan seperti disebutkan di atas, misalnya:

فَأَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُدْخِلُهُمْ رَبُّهُمْ فِي رَحْمَتِهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْمُبِينُ

Artinya:"Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya. Itulah kemenangan yang nyata." (QS. al-Jatsiah, 45:30)

Hadirin sidang Jumat yang berbahagia!

Manusia yang beriman dan bekerja dengan baik, sehingga melahirkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi sesamanya, disebutkan al-Qur’an sebagai manusia yang paling baik dan terpuji. Sesungguhnya manusia yang paling mulia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi sesamanya dan makhluk lain secara menyeluruh.

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan pekerjaan yang baik, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk." (QS. al-Bayyinah, 98:7)

Ayat lain dalam al-Qur’an menyebutkan bahwa orang-orang yang beriman dan bekerja secara baik dan profesional akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dua kebahagiaan itu merupakan suatu kemenangan yang agung yang kita dambakan.

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيرُ

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar." (QS. al-Buruj, 85:11)

Istilah bekerja dengan menggunakan kata amal dalam al-Qur’an, bukan saja dipakai dalam arti beramal atau bekerja untuk kehidupan akhirat, tapi digunakan juga untuk bekerja bagi kehidupan dunia. Sebagai contoh dapat dikemukakan ayat berikut ini:

وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا دَاوُدَ مِنَّا فَضْلًا يَاجِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ (*)أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ


Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Saba`, 34:10-11)

Hadits Rasulullah saw banyak yang mengarahkan umat manusia agar beretos kerja yang tinggi dan mengarah kepada profesionalisme sesuai dengan pengarahan dan bimbingan dari al-Qur’an seperti yang disebutkan di atas, diantaranya: “Sesungguhnya Allah saw mencinta hamba-Nya yang bekerja secara professional.” (al-Hadits)

Dari hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, diceritakan bahwa ada seorang sahabat yang meminta bantuan kepada Nabi. Nabi memberi bantuan kepada sahabat itu, tetapi kemudian ia meminta lagi. Nabi memperingatkan sahabat itu dan mengajarkannya supaya ia tidak selalu meminta, mencari belas kasihan orang lain. Karena sesungguhnya tangan di atas atau memberi adalah lebih baik dari tangan dibawah yang meminta.

Selanjutnya Nabi bertanya kepada sahabatnya itu, apakah ia masih memiliki sesuatu di rumahnya. Sahabat itu menjawab bahwa ia tidak memiliki suatu apapun, kecuali sebuah mangkok tua. Nabi berkata padanya, “Besok kamu bawa mangkok itu, akan aku lelangkan kepada sahabat yang lain.” Esok harinya sahabat itu membawa mangkok tersebut dan diserahkan kepada Nabi. Nabi mengumumkan pada para sahabat, siapa yang akan menolong temannya dengan jalan membeli mangkok miliknya. Beberapa sahabat berkenan membelinya, akhirnya diambillah harga yang paling tinggi senilai dua dirham.

Nabi menyerahkan kepada pemilik mangkok itu satu dirham untuk membeli makanan bagi keluarganya. Kata Nabi, yang satu dirham lagi kamu belikan kapak besar, lalu bawa kemari. Setelah diberikan kepada Nabi, Nabi memasangkan gagangnya lalu berkata, “Sekarang kamu pergi cari kayu dan jual ke pasar. Selama lima belas hari aku tidak mau melihatmu.” Sahabat itu kemudian bekerja sesuai dengan yang disarankan Nabi. Setelah itu ia kembali kepada Nabi dengan membawa keuntungan sepuluh dirham. Nabi bersabda padanya, “Hal ini lebih baik bagimu daripada meminta belas kasihan orang lain yang akan menjadi noda pada wajahmu di hari kiamat.”

Betapa kerasnya Islam mengarahkan umatnya agar mau bekerja keras dan bekerja secara profesional serta mencela mereka yang besikap pemalas dan suka meminta belas kasihan orang lain. Hal itu tergambar dalam hadits berikut ini, Abu Abdirrahman Auf bin Malik al-Asyja’i berkata:

كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةً أَوْ ثَمَانِيَةً أَوْ سَبْعَةً، فَقَالَ: أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ اللَّهِ ؟، وَكُنَّا حَدِيثَ عَهْدٍ بِبَيْعَةٍ فَقُلْنَا: قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ اللَّه؟، فَقُلْنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ اللَّه؟، قَالَ فَبَسَطْنَا أَيْدِيَنَا وَقُلْنَا: قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَعَلَى مَا نُبَايِعُكَ؟ قَالَ : عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَتُطِيعُوا، وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا. فَلَقَدْ رَأَيْتُ بَعْضَ أُولَئِكَ النَّفَرِ يَسْقُطُ سَوْطُ أَحَدِهِمْ فَمَا يَسْأَلُ أَحَدًا يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ (رواه مسلم)

"Ketika kami sedang duduk bersama beberapa orang sahabat, jumlah kami kira-kira tujuh, delapan atau sembilah orang, datang pada kami Rasulullah saw seraya bersabda, "Tidakkah kamu berbaiat kepada Rasulullah?". Saat itu kami baru saja berbaiat kepadanya. Maka kami menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah berbaiat kepadamu." Kemudian Nabi saw bersabda lagi, "Tidakkah kamu berbaiat kepada Rasulullah?". Maka kami pun kembali menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah berbaiat kepadamu.” Lalu beliau bersabda lagi, "Tidakkah kamu berbaiat kepada Rasulullah?" Maka kami segera mengulurkan tangan untuk berbaiat sambil berkata, “Kami telah berbaiat, wahai Rasulullah, maka baiat apa lagi yang harus kami sampaikan?”. Nabi menjawab, “Berbaiat untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kemudian shalat lima waktu serta taat kepada Allah.” Kemudian Nabi saw merendahkan suaranya sambil bersabda, “Dan jangan meminta-minta suatu apapun kepada orang lain.” Betapa kesungguhan para sahabat menerima baiat Nabi tadi, perawi hadits meriwayatkan bahwa ia melihat sebagian dari mereka yang ada di situ, cambuk kendaraannya jatuh, dan ia tidak meminta pertolongan kepada siapa pun untuk mengembalikannya. (HR. Muslim: No.1729)

Sungguh amat tercela orang yang selalu meminta-minta belas kasihan orang lain, ia akan menghadap kepada Allah di hari kiamat dengan muka bagaikan tengkorak.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ (رواه البخاري ومسلم)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda, "Seorang tidak henti-hentinya meminta belas kasihan kepada orang lain, hingga nanti ia akan datang pada hari kiamat dengan bentuk muka yang tidak berdaging (seperti tengkorak)." (HR. Bukhari: No. 1381 dan Muslim: No. 1725)

Keterangan di atas menjelaskan kepada kita betapa besarnya bimbingan ajaran Islam agar manusia memiliki iman dan takwa yang sempurna, beretos kerja tinggi dan mengarah pada profesionalisme. Dengan demikian kehadirannya di dunia ini akan bermakna, memberikan andil yang baik bagi peradaban umat manusia dan dapat melahirkan karya-karya besar yang spektakuler bagi sesama makhluk-Nya.

Para jamaah yang berbahagia!

Memberi bantuan kepada sesama umat manusia yang membutuhkan dan sesuai dengan ajaran agama, adalah merupakan suatu perbuatan yang sangat baik dan terpuji. Islam menetapkan syarat-syarat bagi orang yang boleh meminta bantuan. Diantaranya; (1) orang yang memiliki tanggungan, bisa berupa denda atau tanggungan lainnya. (2) orang yang harta bendanya tertimpa musibah sehingga musnah. Dan (3) orang yang sangat membutuhkan. (HR. Muslim)

Pemberian bantuan seperti itu harus dilakukan oleh setiap umat yang memiliki kemampuan. Namun bantuan itu hendaknya tidak diberikan di jalan-jalan raya, di sekitar lampu pengatur lalu lintas, dan tempat-tempat keramaian lainnya, karena sangat mengganggu dan membahayakan. Pemberian bantuan sebaiknya disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi yang banyak tersebar di berbagai wilayah. Dengan cara itu, maka ketertiban dan keselamatan para pengguna lalu lintas dapat terjaga dengan baik. Selain itu, para fuqara, masakin, dan kaum dhuafa hendaknya diperhatikan kehidupan mereka melalui lembaga-lembaga sosial yang resmi.

Hadirin sidang Jumat yang berbahagia!

Kita semua berharap semoga umat Islam secara keseluruhan dapat memperbaiki kinerjanya secara baik, sehingga dapat meningkatkan kualitas SDM kita menuju SDM yang unggul dan dapat bersaing dengan dunia internasional. Dengan demikian, kita akan menjadi bangsa yang memiliki keunggulan setarap dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju. Semoga kita semua memperoleh bimbingan serta ridha dari Allah swt dalam segala kehidupan kita. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَآئِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ


Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، وَأَحُثُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحًمُوْنَ.

قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ اْلقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، وَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْكَرِيْمُ وَنَحْنُ عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْياَءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَقَاضِيَ الْحَاجَاتِ.

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار.

ِعِبَادَ اللهِ! إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ، فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

Photobucket