Salam Ukhuwah
http://www.youtube.com/user/thezainic
Dan ini (Al Qur'an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberikan peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Qur'an), dan mereka selalu memelihara shalatnya. (Surat Al An'aam: ayat 9)
"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).
"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).
Ya Allah, jadikanlah kami ahlul Quran dan jangan Engkau haramkan kepada kami untuk memahami Al-Quran, dan berikanlah kepada kami taufik dan hidayahMu agar kami senantiasa mampu untuk mengamalkan Al-Quran...
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘Umar bin Khoththob radhiallahu ‘anhu)
Pada edisi perdana ini, sengaja kami mengangkat syarh hadits ‘Umar bin Khoththob yang masyhur tentang niat ini ke hadapan para pembaca dalam rangka mencontoh beberapa ulama salaf yang memulai karangan mereka dengan membawakan hadits ini. Berkata Imam ‘Abdurrahman bin Mahdy sebagaimana dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah hal. 10 : “Sepantasnya bagi setiap orang yang mengarang suatu karangan untuk membukanya dengan hadits ini sebagai peringatan kepada para penuntut ilmu untuk memperbaiki niat”. Dan di antara para ulama yang membuka karangannya dengan hadits ini adalah Imam Al-Bukhary dalam Shohih Al-Bukhary, Imam ‘Abdul Ghony Al-Maqdasy dalam ‘Umdatul Ahkam dan Imam An-Nawawy dalam Riyadhush Sholihin dan dalam Al-Arba’in An-Nawawiyah.
Takhrijul Hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689 dan 6953, Imam Muslim no. 3530 dan lain-lain dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Anshory dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimy dari ‘Alqomah bin Waqqosh Al-Laitsy dari ‘Umar ibnul Khoththob radhiallahu ‘anhu.
Dari konteks sanadnya kita bisa melihat bahwa hadits ini adalah hadits ahad atau lebih tepatnya ghorib karena tidak ada yang meriwayatkan hadits ini –secara shohih- dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali ‘Umar, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari ‘Umar kecuali ‘Alqomah, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim dan tidak ada yang meriwayatkan hadits ini darinya kecuali Yahya.
Komentar Para Ulama :
Berkata Imam Ibnu Rajab : ”Para ulama sepakat atas keshohihannya dan ummat telah bersepakat dalam menerimanya”.
Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata dalam Syarh Arbain An-Nawawi hal 9 : “Ini adalah hadits shohih yang disepakati akan keshohihannya dan akan besarnya kedudukan dan keagungannya serta banyaknya faedahnya”.
Berkata Abu Ubaid : ”Tidak ada satupun hadits Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam yang lebih luas, lebih mencukupi dan lebih banyak faedahnya dibandingkan hadits ini”.
Dan telah bersepakat para imam seperti Abdurrahman bin Mahdi, Asy-Sy afi’iy, Ahmad bin Hanbal, ‘Ali Ibnul Madini, Abu Dawud As-Sijistani, At-Tirmidzy, Ad-Daraquthny dan Hamzah Al-Kinani bahwa hadist ini adalah sepertiga ilmu.
Hal ini dikomentari oleh Imam Al-Baihaqi dengan perkataannya : ”Hal tersebut dikarenakan sesungguhnya amalan seorang hamba adalah dengan hatinya, lisannya dan anggota tubuhnya, sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut”. Lihat Syarh Arbain hal 10.
Abdurrahman bin Mahdiy berkata : ”Hadits niat ini bisa masuk ke dalam 30 bab ilmu”. Sedangkan Imam Asy-Syafi’iy mengatakan bahwa hadits ini bisa masuk ke dalam 70 bab fiqhi.
Sababul Wurud (Sebab Keluarnya) :
Berkata An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/81) : “Sesungguhnya telah datang bahwa sebab keluarnya hadits ini adalah tentang seorang lelaki yang berhijrah hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois maka diapun dipanggil dengan sebutan Muhajir Ummu Qois (Orang yang berhijrah karena Ummu Qois)”.
Kisah Muhajir Ummu Qois ini diriwayatkan dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :
مَنْ هَاجَرَ يَبْتَغِي شَيْئًا فَإِنَّمَا لَهُ ذَلِكَ, هَاجَرَ رَجُلٌُ لِيَتَزَوَّجَ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا أُمُّ قَيْسٍ, فَكَانَ يُقَالُ مُهَاجِرُ أُمُّ قَيْسٍ
”Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan sesuatu maka sesungguhnya bagi dia hanya sesuatu tersebut. Seorang lelaki telah hijrah untuk menikahi wanita yang bernama Ummu Qois, maka diapun dipanggil dengan nama Muhajir Ummu Qois”. (HR.Ath-Thobrani (9/102/ 8540) dan dari jalannya Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al (16/126) dan Adz-Dzahaby dalam As-Siyar (10/590) dan mereka berdua berkata : ”Sanadnya shohih”. Dan Al Hafizh berkata : “Sanadnya shohih di atas syarat Bukhary dan Muslim”).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fataw a (22/218) : “…, karena sesungguhnya sebab keluarnya hadits ini adalah bahwa seorang lelaki berhijrah dari Mekkah ke Medinah hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois, maka Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam berkhutbah di atas mimbar dan menyebutkan hadits ini”.
Adapun Al-Hafidz Ibnu Hajar, maka beliau berkata dalam Fathul Bary (1/10) : ”Akan tetapi tidak ada di dalamnya (yakni hadits Ibnu Mas’ud di atas) yang menunjukkan bahwa hadist Al A’mal (hadits ‘Umar) diucapkan (oleh Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam) dengan sebab hal tersebut, dan saya tidak melihat sedikitpun pada jalan-jalan hadits tersebut (hadits Ibnu Mas’ud) ada yang tegas menunjukkan tentang hal tersebut”.
Berkata Ibnu Rajab : “Dan telah masyhur bahwa kisah Muhajir Ummu Qois adalah sebab sabda Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam (“barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi”) dan hal ini disebutkan oleh kebanyakan al-muta`akhkhirun (para ulama belakangan) dalam karangan-karangan mereka. Akan tetapi saya tidak melihat hal itu ada asalnya dengan sanad yang shohih, wallahu a’lam”. Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/74-75)
Dan hal ini lebih diperjelas dengan perkataan Imam Al-‘Iraqy dalam Thorhut Tatsrib (2/25-26) : “Tidak ada seorangpun dari penyusun kitab tentang shahabat –sepanjang apa yang saya lihat dari kitab-kitab itu- yang menyebutkan lelaki yang mereka katakan bernama Muhajir Ummu Qois ini. Adapun Ummu Qois yang disebutkan, maka Abul Khoththob bin Dihyah menyebutkan bahwa namanya adalah Qilah”.
Sebagai kesimpulan bahwa kisah Muhajir Ummu Qois adalah kuat dan shohih, hanya saja kalau dikatakan bahwa kisah ini adalah sebab keluarnya hadits tentang niat ini maka ini adalah perkara yang tidak diterima karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan akan hal tersebut, wallahu a’lam.
Kosa Kata Hadits :
Berkata Al-Hafidz dalam Al-Fath (1/13) yang maknanya : “Dan yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang dilakukan oleh mukallaf (yang terkena beban syari’at). Dibangun di atas hal ini, apakah amalan orang kafir tidak termasuk dalam hadits ini?, yang nampak bahwa amalan mereka tidak termasuk karena amalan-amalan yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan ibadah dan ibadah tidak syah dari seorang yang kafir walaupun mereka dituntut untuk mengerjakannya dan disiksa karena meninggalkannya”.
Dan Al-Hafidz Al-‘Iraqy menyebutkan bahwa amalan di sini mencakup semua amalan anggota tubuh termasuk ucapan, karena ucapan adalah amalan lidah dan lidah termasuk dari anggota tubuh.
Adapun secara istilah, niat adalah memaksudkan sesuatu dengan disertai pengamalan sesuatu tersebut. Lihat Al-Fatawa(18/251) dan (22/218) dan Hasyiyah Ar-Roudhul Murbi’ (1/189)
Syaikh Ibnu Utsaimin membagi hijrah menjadi tiga jenis :
Lihat Syarh Riyadhus Sholihin (1/15).
Syarh (Penjelasan) :
Pembahasan tentang hadits ini dari beberapa sisi :
اَلنِّيَةُ شَرْطٌ لِسَائِرِ الْعَمَلِ فِيْهَا الصَّلاَحُ وَالْفَسَادُ لِلْعَمَلِ
“Niat adalah syarat bagi seluruh amalan, pada niatlah benar atau rusaknya amalan”.
Hal ini nampak jelas dari perkataan para ulama dalam menafsirkan hadits ini :
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : “… dan ada kemungkinan taqdir (makna secara sempurna) dari sabda beliau “setiap amalan tergantung dengan niat-niatnya” adalah bahwa setiap amalan –syah atau rusaknya, diterima atau ditolaknya, berpahala atau tidak berpahala- ditentukan oleh niat-niatnya, sehingga hadits ini menerangkan tentang hukum suatu amalan secara syar’iy”. Lihat Fathul Bary (1/13)
Dan semakna dengannya perkataan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh dalam syarh beliau terhadap hadits ini : “Sesungguhnya setiap amalan –syah atau rusaknya, diterima atau ditolaknya- hanyalah dengan sebab niatnya”.
Faedah didatangkannya kalimat “dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan” setelah kalimat “sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya” dari beberapa sisi :
وَإِنَّك لَنْ تَنْفَقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِيْ فِي امْرَأَتِكَ
“… dan tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang kamu harapkan dengannya wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala atasnya termasuk apa yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu”. (HSR. Bukhary-Muslim)
Berikut beberapa hadits dari Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang menunjukkan besarnya kedua fitnah ini serta wajibnya seorang muslim untuk menghindar dari kedua fitnah ini :
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Mayat diikuti (ke kuburan) oleh tiga (perkara), akan kembali dua dan akan tinggal (bersamanya) satu. Dia diikuti oleh keluarganya, hartanya dan amalannya, maka akan kembali keluarga dan hartanya sedang yang tinggal adalah amalannya”. (HSR. Bukhary-Muslim)
فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Maka demi Allah, bukan kemiskinan yang saya takutkan atas kalian, akan tetapi yang saya takut atas kalian adalah dilapangkannya dunia kepada kalian sebagaimana telah dilapangkan kepada orang-orang sebelum kalian kemudian kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka telah berlomba-lomba, lalu dunia tersebut menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka”. (HSR. Bukhary-Muslim)
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap ummat mempunyai fitnah dan fitnahnya ummatku adalah harta”. (HR. At-Tirmidzy)
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِي النَّاسِ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
“Saya tidaklah meninggalkan setelahku suatu fitnah kepada manusia yang lebih berbahaya bagi para lelaki daripada para wanita”. (HSR. Bukhary-Muslim)
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian dari masuk kepada para wanita, maka ada seorang lelaki dari Anshor yang berkata : Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ipar?, beliau menjawab : Ipar adalah kematian”. (HSR. Bukhary-Muslim)
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya maka amalan itu tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘ A`isyah radhiallahu ‘anha)
Dan penjelasan tentang dua syarat ini insya Allah akan kita bahas lebih meluas pada tempatnya.
Beberapa faedah yang terdapat dalam hadits ini :
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : “Dua kalimat ini (yaitu “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan”) adalah dua kaidah yang tidak ada satupun amalan yang keluar darinya, lalu beliau menyebutkan setelahnya satu contoh dari contoh-contoh amalan yang bentuknya satu tapi berbeda baik dan buruknya sesuai dengan niat-niatnya, dan beliau seakan-akan bersabda : “Dan seluruh amalan yang lain berjalan di atas contoh ini”.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
{Lihat : Thorhut Tatsrib 2/20, Al-‘Ilam 1/207, Jami’ul ‘Ulum (1/72)dan Majmu’ul Fatawa (18/279-280)}
(Diringkas oleh Abu Mu’awiyah dari pelajaran Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah yang dibawakan oleh Ust. Dzulqarnain hafizhohullah)
Sumber : http://almakassari.com/?p=62