ALQURAN MEMBAWA KEBERKAHAN

Dan ini (Al Qur'an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberikan peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Qur'an), dan mereka selalu memelihara shalatnya. (Surat Al An'aam: ayat 9)

Mukhjizat AlQuran

"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).

IQRA'

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

ALQURAN TERPELIHARA

"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).

DI BAWAH NAUNGAN ALQURAN

Ya Allah, jadikanlah kami ahlul Quran dan jangan Engkau haramkan kepada kami untuk memahami Al-Quran, dan berikanlah kepada kami taufik dan hidayahMu agar kami senantiasa mampu untuk mengamalkan Al-Quran...

Photobucket

Senin, 28 Februari 2011

IMAM ALI BIN ABI THALIB, PINTU GERBANG ILMU

Dalam riwayat yang ditulisnya, Ibnu Abbas mengatakan: “Demi Allah, Rasul Allah s.a.w. telah memberi kepada Imam Ali sembilan-persepuluh dari semua ilmu yang ada, dan demi Allah, Imam Ali masih juga mengetahui sebagian dari sepersepuluh ilmu sisanya yang ada pada kalian atau pada mereka.”

Mengenai hal itu cukuplah dikemukakan saja ucapan Rasul Allah s.a.w. yang menegaskan: “Aku ini adalah kotanya ilmu atau kotanya hikmah, sedangkan Ali adalah pintu gerbangnya. Barang siapa ingin memperoleh ilmu hendaknya ia mengambil lewat pintunya.”

Allah s.w.t. telah melimpahkan nikmat tiada terhingga kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. berupa ilmu dan hikmah, sehingga ia menjadi orang yang paling banyak mengetahui dan menguasai isi A1 Qur’an serta ajaran-ajaran Rasul Allah s.a.w. Dengan sendirinya ia pun merupakan orang yang paling mampu menetapkan fatwa hukum Islam. Sebenarnya hal itu bukan merupakKan satu kejutan, karena dia adalah satu-satunya orang muslim yang terdini memeluk Islam dan hidup langsung di bawah naungan wahyu sejak masa kanak-kanak sampai dewasa.

Sebuah riwayat hadits yang berasal dari Mu’adz bin Jabal mengatakan bahwa Rasul Allah s.a.w. berkata kepada Imam Ali r.a: “Engkau mengungguli orang lain dalam tujuh perkara. Tak ada seorang Qureisy pun yang dapat menyangkalnya, yaitu:
  • Engkau adalah orang pertama yang beriman kepada Allah,
  • Engkau orang yang terdekat dengan janji Allah,
  • Engkau orang yang termampu menegakkan perintah Allah,
  • Engkau orang yang paling adil mengatur pembagian (ghanimah),
  • Engkau orang yang paling berlaku adil terhadap rakyat,
  • Engkau paling banyak mengetahui semua persoalan, dan
  • Engkau orang yang paling tinggi nilai kebaikan sifatnya di sisi Allah."

Jadi, kalau Rasul Allah s.a.w. sendiri sudah menilai Imam Ali r.a. sedemikian lengkapnya, tidaklah keliru kalau dikatakan, bahwa Imam Ali r.a. merupakan kualitas pilihan di kalangan ummat Islam.

Fashahah dan Balaghah
Al Mas’udiy meriwayatkan, bahwa lebih dari 480 khutbah yang diucapkan oleh Imam Ali r.a. tanpa dipersiapkan lebih dahulu, dihafal oleh banyak orang. Syarif Ar-Ridha mengatakan dalam kitab Khutbah Nahjil Balaghah, bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib adalah pencipta dan pengajar ilmu Fashahah dan juga merupakan orang yang melahirkan ilmu Balaghah.

Dari dialah munculnya aturan-aturan ilmu tersebut dan dari dia juga orang mengambil kaidah-kaidah dan hukum-hukumnya. Tiap orang yang berbicara sebagai khatib, pasti mengambil pepatah atau kata-kata rnutiara dari dia, dan tiap orang yang pandai mengingatkan orang lain pasti mencari bantuan dengan jalan mengutip kata-kata Imam Ali. Demikian kata Syarif Ar Ridha.

Tentang hal itu Muawiyah sendiri juga terpaksa harus mengakui keunggulan lawannya, ketika ia berkata terus terang kepada Abu Mihfan: “Seandainya semua mulut dijadikan satu, belum juga dapat menyamai kepandaian Ali bin Abi Thalib. Demi Allah, tidak ada orang Qureiys yang cakap berbicara seperti dia!”

Banyak sekali ungkapan dan kata-kata mutiara Imam Ali r.a. tercantum dalam kitab Nahjul Balaghah, yang dibelakang hari diuraikan oleh Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarah Nahjil Balaghah, yang terdiri dari 20 jilid. Buku Nahjul Balaghah kiranya cukuplah menjadi bukti, bahwa dalam hal menyusun kalimat dan memilih kata-kata bermutu, memang tidak ada orang lain yang dapat menyamai atau melebihi Imam Ali r.a. selain Rasul Allah s.a.w. sendiri. Salah satu contoh ialah kata-katanya: “Tiap wadah bila diisi menyempit kecuali wadah ilmu, ia bahkan makin bertambah luas.”

Dalam kitab Al Bayan wat Tabyin, Al Jahidz mengetengahkan ucapan Imam Ali r.a. yang mengatakan: “Nilai seseorang ialah perbuatan baiknya.” Dalam memberikan tanggapan terhadap ucapan Imam Ali r.a. tersebut, Ibnu Aisyah mengatakan: “Selain kalam Allah dan Rasul-Nya, aku tidak pernah menemukan sebuah kalimat yang lebih padat maknanya dan lebih umum kemanfaatannya dibanding dengan ucapan-ucapan Imam Ali.”

Pernah ada orang bertanya kepada Imam Ali r.a. tentang berapa jauhnya jarak antara langit dan bumi. Imam Ali dengan mudah saja menjawab: “Jauhnya secepat doa yang terkabul!” Orang itu masih bertanya lagi tentang jauhnya jarak antara timur dan barat. Dijawab oleh Imam Ali r.a.: “Sejauh perjalanan matahari sehari!”

Nahwu
Ilmu Nahwu yang merupakan salah satu cabang pokok ilmu bahasa Arab pun sejarah pertumbuhannya tak dapat dipisahkan dari pemikiran Imam Ali r.a. Dialah yang meletakkan dasar-dasar fundamental ilmu tersebut. Tokoh pertama yang terkenal sebagai penyusun ilmu Tata Bahasa Arab, Abul Aswad Ad Dualiy, di imla (didikte) oleh Imam Ali r.a. dalam meletakkan dasar-dasar ilmu Nahwu dan kaidah-kaidahnya. Antara lain Imam Ali r.a.-lah yang membagi jenis kata-kata dalam tiga kategori secara sistematik. Yaitu kata benda (ism), kata kerja (fi’il) dan kata penghubung (harf). Ia jugalah yang membagi kata benda ke dalam dua sifat. Ma’rifah, yaitu kata benda yang jelas maksudnya dalam hubungan kalimat, dan Nakirah, yaitu lawan kata benda Ma’rifah. Demikian juga yang berkaitan dengan jenis-jenis I’rab, seperti rafa’, nasb, jarr dan jazm.

Keistimewaannya ialah dalam meletakkan kaidah-kaidah tata-bahasa Arab itu, Imam Ali r.a. seolah-olah seperti berbuat mu’jizat. Sebab sebelum itu, belum pernah ada orang Arab yang mengenal sistematisasi penyusunan tata-bahasa. Rumus-rumus tata-bahasa belum pernah dikenal orang sama sekali. Padahal bahasa Arab adalah bahasa yang sangat tua, kaya dan rumit. Bangsa-bangsa Eropa yang dalam abad modern sekarang ini menguasai peradaban dunia, waktu itu masih tenggelam dalam vandalisme dan pengembaraan liar. Jadi tidaklah keliru kalau dikatakan Imam Ali r.a. itu adalah bapak bahasa Arab modern. Sebab rumus-rumus dan kaidah-kaidah yang diletakkan olehnya, membuat bahasa Arab mudah dipelajari oleh orang asing.

Khutbah
Kecakapannya berkhutbah bukan asing lagi bagi para penulis sejarah Islam. Imam Ali r.a. bukan hanya dikenal sebagai Bapak bahasa Arab, tetapi dalam hal penggunaan dan penerapan bahasa pun ia dikenal sebagai seorang ahli terkemuka. Keunggulannya dalam kecakapan berbahasa dan bersastra membuat orang menarik kesimpulan, bahwa nilai perkataan Imam Ali r.a. berada di bawah firman Allah Al Khaliq dan tutur-kata Rasul-Nya. Pada masa hidupnya tidak sedikit orang datang kepadanya untuk menimba ilmu berkhutbah dan ilmu menulis.

Abdul Hamid bin Yahya, seorang ilmuwan dan penulis Islam yang masyhur itu, sampai berkata sambil membanggakan diri, bahwa ia mempunyai kumpulan khutbah-khutbah Imam Ali sebanyak 70 perangkat. “Dan itu masih bertambah terus,” katanya. Akan tetapi Abdul Hamid itu masih kalah unggul dibanding dengan Ibnu Nubatah, yang nama sebenarnya ialah Abdurrahman bin Muhammad bin Ismail Al-Fariqiy Al-dudzamiy. Ia mengatakan: “Aku menyimpan setumpuk khutbah-khutbahnya. Sampai sekarang masih bertambah terus jumlahnya. Aku menyimpan 100 bab dari wejangan-wejangan Imam Ali bin Abi Thalib.”

Kecakapan Imam Ali r.a. menyusun pidato sangat membantu para peneliti sejarah Islam, khususnya sejarah perjuangan Imam Ali r.a. sendiri, dalam menghimpun data-data dan fakta-fakta. Dibanding dengan khutbah-khutbahnya, khutbah-khutbah yang pernah diucapkan oleh para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. lainnya, belum ada sepersepuluhnya, seandainya semua itu hendak dikumpulkan. Seorang penulis dan sejarawan klasik Islam, Abu Utsman Al-Jahidz menegaskan hal tersebut dalam bukunya yang berjudul Al-Bayan wat Tabyin.

Tauhid

Ilmu Tauhid atau ilmu Kalam adalah ilmu yang paling banyak dikejar dan diselami oleh kaum muslimin yang berminat mendalami hakikat Islam. Ilmu Tauhid merupakan induk ilmu-ilmu agama Islam, karena ilmu tersebut menyangkut masalah ke-Tuhan-an. Kecuali itu, karena luhur dan tingginya nilai suatu ilmu pengetahuan terletak pada sasaran ilmu itu sendiri.

Ilmu ke-Tuhan-an yang sasarannya adalah Dzat Yang Maha Agung, tidak bisa tidak pasti merupakan ilmu yang paling tinggi mutu dan nilainya. Kaum awam dan para ahli yang menekuni ilmu yang mulia itu, hampir tak ada yang meragukan bahwa ilmu tersebut dikuasai dengan baik sekali oleh Imam Ali r.a. Bahkan pribadinya sendiri di belakang hari dijadikan sumber penggalian dan pembahasan ilmu tersebut, yakni ilmu Tauhid.

Kaum Mu’tazilah yang juga dikenal dengan sebutan Ahlut Tauhid Wal ‘Adl, para ahli ilmu qalam, dan para ahli fikir lainnya, jika diusut sumber ilmu pengetahuannya masing-masing, akhirnya pasti akan bertemu pada pribadi dan pemikiran Imam Ali r.a. Sebagai ilustrasi dan sekaligus pembuktian dapat dikemukakan, bahwa tokoh utama kaum Mu’tazilah yang bernama Washil bin ‘Atha, dasar-dasar ilmu pengetahuannya berasal dari Imam Ali r.a. Sebab tokoh Mu’tazilah itu menimba ilmu dari Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad Ibnul Hanafiyah. Hasyim memperoleh ilmu dari ayahnya sendiri, yaitu Muhammad Ibnul Hanafiyah. Sedang Muhammad Ibnul Hanafiyah bukan saja murid, melainkan ia adalah putera Imam Ali r.a. sendiri, yakni saudara Al Hasan dan Al Husein r.a. dari lain ibu.

Kaum Asy’ariy yang asalnya adalah para siswa Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisyr Al Asy’ariy, ilmu pengetahuan mereka didapat dari Abul Aliy Al-Juba-iy. Bagi orang yang mendalami ilmu Tauhid dan meneliti asal-usul sejarahnya, pasti mengetahui bahwa Abul Aliy Al-Juba-iy itu ialah seorang tokoh sangat terkenal di kalangan kaum Mu’tazilah. Sedang kaum Mu’tazilah itu memperoleh ilmu mereka dari Imam Ali r.a., seperti yang kami sebutkan di atas tadi. Mengenai kaum Syi’ah, baik golongan Zaidiyyah maupun golongan Imamiyyah, sumber ilmu pengetahuan mereka tak usah dipersoalkan lagi. Sudah pasti dari tokoh pujaan mereka yang paling utama, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib r.a.

Fiqh
Orang yang paling lembut hatinya dan paling ramah di kalangan ummatku ialah Abu Bakar. Demikian diungkapkan oleh Rasul Allah s.a.w. Sedang yang paling keras membela agama ialah Umar Ibnul Khattab. Yang paling pemalu adalah Utsman bin Affan. Adapun Ali, ajar Rasul Allah s.a.w. seterusnya, ialah yang paling tahu tentang hukum.

Pernyataan Rasul Allah s.a.w. tersebut merupakan masnad bagi uraian Abu Ya’la, sebagaimana tercantum dalam kitab karya seorang penulis kenamaan As-Sayuthiy, yang berjudul Al Jami’us Shaghir (jilid I halaman 58). Yang dimaksud dengan hukum bukan lain ialah hukum Islam, yaitu Fiqh. llmu Fiqh merupakan salah satu cabang penting dari ilmu agama Islam.

Ilmu yang bersangkut-paut dengan semua ketentuan hukum Islam itu jelas sekali berpangkal antara lain dari Imam Ali r.a. Boleh dibilang semua ahli Fiqh di kalangan kaum muslimin menimba dan mengambil dasar-dasar ilmu pengetahuannya masingmasing dari Fiqh Imam Ali. Rekan-rekan dan para pengikut Imam Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf, Muhammad dan sebagainya, semua berguru kepada Abu Hanifah.

Seorang ahli Fiqh terkemuka yang madzhabnya dianut oleh ummat Islam Indonesia, Imam Syafi’iy, adalah murid Muhammad bin Al Hasan yang ilmunya berasal dari Abu Hanifah.

Tokoh pertama madzhab Hanbaliy, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, adalah murid kinasih dan terkemuka dari Imam Syafi’iy. llmu pengetahuan yang ditimbanya sudah tentu sama seperti ilmu yang didapat oleh Imam Syafi’iy sendiri, yaitu berasal dari Imam Abu Hanifah.

Tokoh besar ilmu Fiqh, Abu Hanifah, menimba ilmu pengetahuan dari Ja’far bin Muhammad Ibnul Hanafiyah. Ja’far adalah murid ayahnya sendiri, sedangkan ayahnya itu ialah murid dan putera Imam Ali.

Tokoh pertama madzhab Malikiy, yaitu Imam Malik bin Anas, pun demikian juga. Ia menimba ilmu pengetahuan tentang Fiqh dari Abdullah Ibnu Abbas. Sedangkan Abdullah Ibnu Abbas sendiri diketahui dengan pasti bukan lain adalah murid Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Kalau ada yang mengatakan bahwa ilmu Fiqh Imam Syafi’iy berasal dari Imam Malik, pangkal dan sumber pokoknya berasal juga dari Imam Ali.

Fakta-fakta tersebut mengungkapkan kenyataan, bahwa 4 orang Imam Fiqh atau tokoh-tokoh pertama empat madzhab Fiqh di seluruh dunia Islam sekarang ini, ilmu pengetahuan Fiqhnya masing-masing berasal dari Imam Ali r.a. Tentu saja tak perlu diragukan lagi, bahwa ilmu Fiqh yang ada di kalangan kaum Syi’ah pasti berasal dari Imam Ali. Seorang tokoh besar Islam lainnya, Umar Ibnul Khattab r.a., dikenal dan diakui sebagai seorang yang banyak memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Namun ia tidak lepas dari pemikiran Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Hal ini diakui sendiri olehnya ketika mengatakan: “Tanpa Ali celakalah Umar!” Bahkan Khalifah yang terkenal keras, tegas, tetapi bijaksana dan arif itu pernah juga mengucap-kan “Tidak ada kesukaran (hukum) yang tak dapat dipecahkan oleh Abul Hasan (Imam Ali).”

Waktu melukiskan bagaimana wibawa dan wewenang Imam Ali dalam menetapkan fatwa hukum, Khalifah Umar r.a. juga menegaskan: “Tidak ada seorang pun di dalam masjid yang dapat memberikan fatwa hukum, bila Ali hadir.”

Penguasaan, penafsiran dan penerapan hukum Islam oleh Imaln Ali r.a. dilakukan secara tepat dan diakui kebenarannya oleh Rasul Allah s.a.w. Hal itu dibuktikan dengan diangkatnya Imam Ali –pada masa itu– sebagai qadhi (hakim) di Yaman. Ketika melepas saudara misan kesayangannya itu Rasul Allah s.a.w. sempat berdoa: “Ya Allah, bimbinglah hatinya dan mantapkanlah ucapannya.” Sebagai tanggapan terhadap harapan Rasul Allah s.a.w. itu Imam Ali r.a. berkata: “Mulai saat ini aku tidak akan ragu-ragu lagi mengambil keputusan hukum yang menyangkut dua belah fihak.”

Di antara banyak yurisprudensi, keputusan-keputusan hukum, yang dilahirkan oleh pemikiran Imam Ali r.a. ialah yang menyangkut kasus perkara sebagai berikut: Kasus seorang isteri yang melahirkan anak, padahal ia baru enam bulan menikah dengan suaminya. Yaitu suatu penetapan hukum yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. berdasarkan Surah Al-Ahqaf ayat 15. Juga Imam Ali-lah yang menetapkan fatwa hukum Islam tentang wanita hamil karena perbuatan zina. Memecahkan masalah hukum Faraidh yang pelik dan rumit, yaitu hukum tentang pembagian harta waris, Imam Ali r.a. sanggup melakukannya dengan cepat dan tepat. Yurisprudensi ini lahir dari satu kasus yang terkenal dalam sejarah Fiqh dengan nama “Kasus Minbariyyah”. Kasus ini menarik para ahli hukum Islam maupun non Islam. Peristiwa ini terjadi ketika Imam Ali r.a. sedang berkhutbah di atas mimbar, tiba-tiba ada seorang bertanya tentang hukum yang berkaitan dengan pembagian waris antara dua orang anak perempuan, dua orang ayah dan seorang perempuan. Seketika itu juga dan hanya dalam waktu beberapa detik saja, tanpa ragu-ragu Imam Ali r.a. menjawab: “Seperdelapan yang menjadi hak perempuan itu berubah menjadi sepersembilan!”

Dihitung secara matematik dan ditinjau dari sudut keadilan dan kebijaksanaan berdasarkan Al-Qur’an, fatwa hukum Imam Ali r.a. tersebut mencapai record dalam memecahkan kasus pembagian harta waris yang amat pelik dan rumit. Seorang ahli hukum Faraidh sendiri, walau dengan bantuan alat kalkulator, baru dapat menemukan angka yang disebutkan oleh Imam Ali r.a. kalau sudah menghitung-hitung dahulu selama beberapa saat. Masalah itu memang merupakan masalah matematika yang cukup ruwet. Tetapi menurut kenyataan, fatwa Imam Ali r.a. yang diambil dalam waktu beberapa detik itu setelah diuji dan diteliti secermat-cermatnya berdasarkan hukum Al-Qur’an dan sunnah Rasul Allah s.a.w., terbukti benar dan tepat. Jelaslah hanya orang yang betul-betul menguasai dasar-dasar hukum Fiqh sampai sedalam-dalamnya sajalah yang dapat memberikan jawaban secepat itu!

Tafsir
Bagi orang awam, bahkan kaum ahli sekalipun, selalu menjumpai kenyataan bahwa tafsir Al-Qur’an banyak sekali kaitannya dengan nama seorang ulama besar, Abdullah Ibnu Abbas. Ulama ini memang terkenal sekali sebagai seorang ahli tafsir Al Qur’an. Abdullah Ibnu Abbas juga seorang ulama yang dipercaya oleh Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. untuk memberikan penafsiran tentang sesuatu ayat Al-Qur’an.

Sungguhpun demikian, ketika Abdullah Ibnu Abbas ditanya orang, bagaimana perbandingan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh “putera paman anda” (Imam Ali r.a.), jawabnya sederhana saja: “Perbandingannya seperti setetes air hujan dengan air samudera!” Jawaban itu tidak mengherankan. Bukan hanya karena ia rendah hati, melainkan juga karena ia adalah murid Imam Ali r.a. sendiri. Dalam ilmu tafsir, nama dua orang itu hampir tak pernah pisah sama sekali.

Benar sekali penyaksian Abu Fudhail yang mendengar sendiri Imam Ali r.a. berkata dari atas mimbar: “Tanyakanlah kepadaku selama aku ada. Apa saja yang kalian tanyakan, aku sanggup menjawab. Tanyakanlah tentang Kitab Allah. Demi Allah, tak ada satu ayat pun yang aku tidak mengetahui, apakah ayat itu turun di waktu siang ataukah di waktu malam, di datarankah atau di pegunungan.”

Kata-kata Imam Ali r.a. itu bukan menunjukkan kesombongan, tetapi karena ia tampak jengkel melihat ada orang yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan semena-mena. Dan apa yang diucapkannya itu bukan kata-kata hampa yang tidak berbukti.

Menurut Ibnu Abil Hadid, Al-Madainiy meriwayatkan, bahwa dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a. pernah berkata: “Seandainya ada yang mengadu kepadaku karena bantalnya dirobek orang, aku akan mengambil keputusan hukum. Bagi ahli Taurat berdasarkan Tauratnya, bagi ahli Injil berdasarkan Injilnya, dan bagi ahli Al-Qur’an berdasarkan Qur’an-nya!”

Sungguh besarlah nikmat Allah yang dilimpahkan kepada putera Abu Thalib yang telah menerima asuhan dan pendidikan manusia terbesar sepanjang sejarah, Nabi besar Muhammad s.a.w.! Tidak keliru kalau tiga orang Khalifah sebelumnya memandang Imam Ali r.a. sebagai penasehat ahli yang sama sekali tak dapat ditinggalkan fatwa-fatwanya.

Tilawatil Qur’an
Bagi Imam Ali r.a. ilmu Tilawatil Al-Qur’an merupakan ilmu yang paling pertama kali diteguk dan diperolehnya langsung dari Rasul Allah s.a.w. sejak berusia muda belia. Ialah orang yang paling tahu bagaimana Rasul Allah s.a.w. membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Sejak Rasul Allah s.a.w. masih hidup, Imam Ali r.a. sudah dikenal sebagai orang pertama dan yang paling dini menghafal Al-Qur’an. Kedudukannya yang sangat dekat dengan Rasul Allah s.a.w. dan kecerdasannya membuat Imam Ali r.a. dapat menguasai dengan sempurna ilmu Tilawatil Qur’an.

Ada kesepakatan di kalangan para penyusun riwayat, bahwa di samping menguasai pengertian dan tafsir Al-Qur’an secara baik, Imam Ali r.a. juga diakui sebagai seorang ahli ilmu Tilawah. Keahlian dan kecakapannya di bidang ini sangat membantu usaha menghimpun ayat-ayat suci Al-Qur’an di kemudian hari. Dalam pekerjaan yang maha besar itu sumbangan dan peranan Imam Ali r.a. sangat menentukan keberhasilannya.

Sebagaimana diketahui, setelah Rasul Allah s.a.w. wafat, Abu Bakar Ash Shiddiq meneruskan kepemimpinan beliau atas ummat Islam. Di kala itu terjadi peperangan-peperangan untuk menumpas kaum pembangkang zakat dan gerakan kaum murtad, serta oknum-oknum petualang yang mengaku diri sebagai “nabi”. Dengan terjadinya konflik-konflik tersebut para sahabat yang hafal ayat-ayat suci Al-Qur’an makin berkurang jumlahnya karena banyak yang gugur di medan tempur. Terdorong oleh kekhawatiran habisnya para sahabat yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an, atas usul Umar Ibnul Khattab r.a., Khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit supaya segera mengkodifikasi wahyu suci. Tugas raksasa ini memerlukan ketekunan, kesabaran, ketelitian, kecermatan dan kejujuran. Dalam pekerjaan mulia ini, Zaid bin Tsabit dimudahkan antara lain oleh sumbangan Imam Ali r.a. yang tak ternilai besarnya.

Jika ditelusuri sejarah ilmu Tilawatil Qur’an, maka akan ditemukan kenyataan bahwa para Imam dan para ahli Tilawah semuanya menimba ilmu dari sumbernya yang pertama, yaitu Imam Ali r.a. Ambil saja sebagai misal, Abu Umar bin Al-A’laa, ‘Ashim bin Najd dan sebagainya. Mereka semua berasal dari perguruan Abu Abdurrahman As-Sulamiy Al-Qari. Sedangkan Abu Abdurrahman ini tak lain adalah murid Imam Ali r.a. sendiri, yang belajar langsung dari gurunya itu.

Sebagai orang yang hidup taqwa dan menguasai Al-Qur’an baik lafadz maupun maknanya, Imam Ali r.a. memandang Al-Qur’an sebagai satu-satunya juru selamat bagi manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. Ketika menjelaskan pandangannya terhadap Al-Qur’an, Imam Ali r.a. antara lain berkata:

“Kalian wajib mengetahui, bahwa Al-Qur’an itu adalah nasehat yang tak pernah palsu, pembimbing yang tak pernah sesat, dan pembicara yang tak kenal dusta. Tiap orang yang duduk membaca Al-Qur’an, ia pasti memperoleh tambahan atau pengurangan, yaitu tambahan hidayat atau pengurangan ketidak-tahuan. Ketahuilah bahwa tidak ada yang lebih unggul dan lebih tinggi bagi seseorang daripada Al-Qur’an.”

“Oleh karena itu sembuhkanlah penyakit kalian dengan Al-Qur’an, dan dengan Al-Qur’an mohonlah pertolongan kepada Allah untuk mengatasi kesukaran kalian. Dalam Al-Qur’an terdapat obat penyembuh bagi penyakit yang paling parah, yaitu penyakit kufur, kemunafikan dan kesesatan. Mohonlah kepada Allah dengan Al-Qur’an dan dengan mencintai Al-Qur’an hadapkanlah diri kalian ke hadirat-Nya. Janganlah dengan Al-Qur’an kalian meminta sesuatu kepada makhluk Allah. Semua hamba Allah tidak dapat menghadapkan diri kepada-Nya melalui sesama makhluk.

“Dan ketahuilah, bahwa Al-Qur’an adalah pemberi syafa’at yang benar-benar dapat diharapkan. Juga merupakan pembicara terpercaya. Barang siapa memperoleh syafa’at dari Al-Qur’an pada hari kiyamat, berarti ia memperoleh syafa’at yang sejati. Dan Barang siapa yang dinilai buruk oleh Al-Qur’an, pada hari kiyamat ia tidak akan dipercaya. Pada hari kiyamat akan terdengar suara berseru: ‘Bukankah orang yang berbuat akan diuji dengan perbuatannya sendiri dan akan diuji pula oleh akibat dari perbuatannya itu, kecuali orang yang berbuat menurut ajaran Al-Qur’an?”

“Oleh sebab itu jadilah kalian orang-orang yang berbuat sesuai dengan Al-Qur’an dan mengikuti ajaran-ajarannya. Jadikanlah Al-Qur’an sebagai penasehat bagi diri kalian. Jadikanlah Al-Qur’an sebagai pembimbing fikiran dan pendapat kalian, dan jadikanlah Al-Qur’an sebagai pencegah hawa nafsu!”

Demikianlah pandangan hidup seorang bapak ilmu Tilawatil Qur’an, Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Ilmunya menghayati pandangan hidupnya dan pandangan hidupnya mengarahkan penerapan ilmunya. Dan itulah yang menjadi hakekat dasar ilmu Tilawatil Qur’an.

Tarikat
Ilmu Tarikat pun tidak lepas kaitannya dengan Imam Ali r.a. sebagai sumber sejarahnya. Di kalangan para ahli Tarikat, Imam Ali r.a. diakui sebagai tokoh puncaknya. Semua ilmu Tarikat, Hakikat dan Tashawuf bersumber pada pemikiran-pemikiran Imam Ali r.a.
Sebagai putera asuhan, sejak berusia 6 tahun, Imam Ali r.a. selalu berada di dekat Rasul Allah s.a.w., hampir tak pernah pisah. Sedangkan Rasul Allah s.a.w. sendiri pada saat menerima Ali bin Abi Thalib dalam tanggung jawabnya, tengah mengalami satu proses yang luar biasa. Dari segi kemanusiaannya, terutama kerohaniannya, beliau sedang diproses oleh Al-Khaliq untuk diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Pada saat itulah Muhammad s.a.w. melakukan kontemplasi (tafakur), perenungan dan dialog dalam fikiran batin.

Beliau melakukan penyepian (khalwat) di bukit-bukit dan gua-gua sekitar kota Makkah. Suatu proses yang berlangsung hebat sekali dalam hati nurani beliau. Dengan prihatin dan jiwa yang bersih disertai pula dengan pandangan batin yang tajam beliau menyaksikan ketidak-benaran dan ketimpangan-ketimpangan tata kehidupan masyarakat dan keagamaan yang dihayati oleh masyarakat jahiliyah masa itu. Hatinya terketuk melihat kerusakan-kerusakan dan dekadensi yang menimpa kehidupan masyarakat. Tetapi kalau hanya menyalah-nyalahkan atau mencela saja tidak akan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat yang sedang sesat dan bobrok itu. Alternatif lain, penggantinya, harus ada. Semuanya itu berkecamuk dalam hati beliau s.a.w.

Sejak usia dini beliau sudah kritis dalam memandang kehidupan lingkungannya. Sejak kecil beliau belum pernah hanyut terbawa oleh arus adat, kebiasaan dan kepercayaan jahiliyah. Imam Ali r.a. menyaksikan sendiri saudara pengasuhnya itu menempuh cara hidup keduniawian dan kerohanian yang sangat jauh berbeda dari kebiasaan umum yang lazim berlaku pada masa itu.

Dengan kepatuhan seorang anak yang ditanggapi secara tepat oleh seorang dewasa, terjadilah suatu jalinan perpaduan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muhammad s.a.w. dalam periode beliau sedang menghadapi proses pengangkatannya sebagai Nabi dan Rasul pembawa kebenaran Allah s.w.t. Tak ada bagian-bagian proses itu yang lewat dari penyaksian Imam Ali bin Abi Thalib. Ia selalu mengikuti ke mana saja saudara pengasuhnya itu pergi dan memperhatikan benar-benar apa saja yang dilakukan oleh beliau s.a.w. Ia mencontoh gaya hidup jasmani dan rohani, termasuk cara-cara beribadah sebelum kenabian beliau.

Suara yang berupa ajaran dan wejangan Rasul Allah s.a.w. dan cahaya kebenaran Allah s.w.t. yang menerangi jiwa beliau diserap oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Hakekat kebenaran Allah ‘Azza wa Jalla yang ditemukan dan difahami oleh saudara pengasuhnya selama prosesnya yang bertahun-tahun itu, diikuti, diterima dan dihayati oleh Ali bin Abi Thalib r.a. Itulah antara lain yang memperkuat dasar mengapa Imam Ali r.a. berhak menyandang gelar sebagai Bapak ilmu Tarikat, Hakekat, atau Tashawuf.

Mengenai ilmu di bidang ini, tokoh-tokoh terkemuka kaum Tarikat seperti Asy Syibliy, Al-Junaid, Al-Asyariy, Abu Yazid Al-Bistamiy, Abu Mahfudz yang terkenal dengan nama Al-Khurqiy, dan lain sebagainya, semua mengakui Imam Ali r.a. sebagai tokoh puncak mereka. Cara dan gaya hidup Rasul Allah s.a.w., mulai dari yang sekecil-kecilnya sampai yang sebesar-besarnya, hampir seluruhnya dijadikan tauladan oleh Imam Ali r.a. Oleh karena itulah ia bukan saja hidup sebagai seorang ilmuwan yang mencakup banyak bidang, melainkan juga seorang yang hidup penuh taqwa dan menempuh cara hidup zuhud. Ia tidak risau atau terpengaruh oleh kesenangan-kesenangan duniawi. Bahkan sampai menjadi Khalifah pun cara hidup yang seperti itu dipertahankan sebagai sesuatu yang sudah manunggal dengan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah Rabbul’alamin.

Al-Kahfi
Penulis kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi, yang terjemahannya sebagai berikut: “Ingatlah ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung di dalam gua, kemudian mereka berdoa: “Wahai Allah, Tuhan kami, berilah rahmat kepada kami dari sisi-Mu” Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: “Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lehih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha– memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha menjelaskan. “Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: ‘siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: “Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!”
“Ah, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: “Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t.”
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!”
Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mataair itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa niendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata: “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia
melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku ini masih tidur!” Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau yang kaukatakan itu benar,” kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!”
Imam Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan kuhadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha. “Uang ini kudapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata:
“Ah, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: “Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!”
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!”
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!”
Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan kudirikan sebuah tempat ibadah di pintu guha itu.”
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan kudirikan sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman, yang artinya: “Orang-orang yang telah memenangkan urusan mereka berkata: ‘Kami hendak mendirikan sebuah rumah peribadatan di atas mereka” (S. Al Kahfi: 21).
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang kuceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!”
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.

Penanggalan Hijriyah
Selain ilmu pengetahuan yang mencakup berbagai bidang, Imam Ali r.a. juga banyak melahirkan prakarsa-prakarsa yang dipersembahkan kepada kepentingan kaum muslimin dan kejayaan Islam. Ada satu prakarsanya yang tak mungkin dapat dilupakan sepanjang sejarah oleh seluruh generasi ummat Islam sampai hari akhir kelak. Meskipun hampir tiap hari hasil prakarsa itu dimanfaatkan oleh kaum muslimin, tetapi banyak di antara mereka sendiri yang belum mengetahui, bahwa yang dimanfaatkannya itu berasal dari Imam Ali r.a. Yaitu penanggalan Hijriyah.

Dalam kitab Tarikh yang ditulis oleh At-Thabariy disajikan sebuah riwayat yang berasal dari Sa’id bin Al-Mushib, yang menyatakan, bahwa pada satu hari Khalifah Umar Ibnul Khattab mengumpulkan sejumlah pemuka kaum muslimin untuk merundingkan masalah penanggalan Islam. Kaum muslimin dan Khalifah Umar r.a. berpendapat tentang perlunya diadakan penanggalan tersendiri, agar kaum muslimin tidak lagi mengikuti penanggalan kaum Nasrani dan Yahudi. Betapa tragisnya kalau kaum muslimin yang sudah dewasa itu masih juga mempergunakan penanggalan Ahlul Kitab. Tetapi keinginan yang baik itu terbentur pada jalan buntu karena tidak berhasil menemukan kapan penanggalan Islam itu harus dimulai.

Di saat mereka sedang menghadapi kesukaran itu datanglah Imam Ali r.a. Bukan main gembiranya Khalifah Umar r.a. melihat Imam Ali r.a. datang. Segera saja disambut, kemudian kepadanya diajukan pertanyaan tentang bagaimana sebaiknya penanggalan Islam itu dimulai.
Tanpa banyak fikir lagi Imam Ali r.a. menjawab: “Tetapkan saja mulai hari hijrahnya Rasul Allah s.a.w., yaitu hari beliau meninggalkan tanah syirik!”
Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang cepat dan tepat itu Khalifah Umar r.a. dengan serta merta memeluk Imam Ali r.a. diiringi oleh gegap gempitanya sambutan gembira kaum muslimin yang hadir. Khalifah Umar r.a. menerima sepenuhnya pendapat Imam Ali r.a. tersebut, dan mulai hari itu jugalah ditetapkan berlakunya penanggalan Hijriyah bagi kaum muslimin.

Sumber: http://islamic.xtgem.com

Selasa, 22 Februari 2011

AYO SINAU NGAJI


Kamis, 17 Februari 2011

Selasa, 15 Februari 2011

TAHLILAN DAN TA'ZIYAH MENURUT ISLAM

Sudah menjadi tradisi di kalangan Umat Islam Indonesia, bila seseorang muslim wafat, maka keluarga yang ditinggalkan akan menyelenggarakan tahlilan yang biasanya dihadiri oleh para kerabat, keluarga, tetangga dan handai taulan.

Setelah tahlil, biasanya acara dilanjutkan dengan ta'ziah. Dalam ta’ziah ini, biasanya pula seringkali diisi dengan ceramah agama. Tujuannya, di samping untuk menghibur keluarga yang sedang berduka, sekaligus juga untuk menyampaikan da'wah atau siraman rohani bagi yang hadir dalam majelis ta’ziah tersebut.

Namun karena dalam prakteknya ada dua pendapat besar yang saling berselisih mengenai tahlilan dan ta'ziah ini, maka kemudian muncullah permasalahan. Bagaimanakah sesungguhnya syariat Islam menyikapi tahlilan dan ta’ziah? Di manakah letak perbedaan yang selama ini diperselisihkan itu?

Semoga uraian berikut dapat menambah tsaqafah (wawasan) kita dalam menyikapi pertentangan ini, dan di atas semua itu, semoga pula pelajaran yang dapat dipetik darinya semakin menguatkan pemahaman kita tentang ajaran Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam tentang Islam untuk kemudian menjadi cermin perilaku sehari-hari kita selaku umat muslim. Amin!

  • TAHLILAN
Pengertian Tahlil
Dari sisi etimologi, kata tahlil memiliki arti mengucapkan laailaahaillallah. Dalam hadits dijelaskan, bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda, "Perbaharuilah imanmu! Seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana cara memperbaharui iman? Beliau menjawab, "Perbanyaklah tahlil!"

Merujuk pada hadits ini, maka tahlil mengandung pengertian; mengucapkan kalimat laailahaillallah (tiada Ilah selain Allah). Demikian disebutkan dalam kamus kontemporer. Kata tahlil termasuk dalam beberapa kata yang telah dibakukan untuk satu ucapan tertentu. Kata tahlil serumpun dengan kata Tahmid; mengucapkan alhamdulillah, tasbih; subhanallah, hamdalah; alhamdulillahi rabbil ‘alamin, dan sebagainya.

Dalam perkembangan selanjutnya, istilah tahlilan kemudian lebih dipahami di lingkungan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari ritual dzikir, khususnya ketika ada seorang muslim yang meninggal dunia. Persoalan selanjutnya adalah munculnya perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah Islam memperbolehkan tahlilan atau tidak?

  • PENDAPAT ULAMA MENGENAI TAHLILAN
Pada hakikatnya permasalahan tahlilan merupakan salahsatu ritual agama yang masih diperdebatkan oleh ulama sejak dulu hingga saat ini. Adapun titik krusial yang menjadi inti perbedaan tersebut terletak pada pertanyaan berikut:

  1. Apakah doa, bacaan istighfar untuk mayit, dan bacaan Al-Quran dari orang hidup yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dapat memberi manfaat bagi si mayit atau tidak?
  2. Apakah tahlilan - dalam bentuk yang kita kenal selama ini - disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya?
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah membagi bentuk amal perbuatan manusia menjadi dua bagian. Pertama, amal badaniyyah. Yaitu, amal yang dipraktekkan langsung oleh fisik manusia, seperti shalat, puasa dan dzikir. Kedua, amal maliyyah. Yaitu, amal dalam bentuk materi dan harta, seperti sedekah dan infaq.

Berangkat dari dua pendapat Imam Ibnul Qayyim di atas, para ulama pun kemudian berbeda pendapat tentang tahlilan sebagaimana tersebut di bawah ini:

  • PENDAPAT PERTAMA
Ritual tahlil bukan termasuk sesuatu yang dianjurkan agama, dan memohonkan ampun serta menghadiahkan pahala kepada orang yang telah mati tidak berpengaruh sedikit pun bagi sang mayit. Pendapat ini berdasarkan pada beberapa dalil seperti berikut:

Firman Allah Subhanahu Wata'ala:

أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى * وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
"Bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS. An-Najm[53]: 38-39)

فَالْيَوْمَ لا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَلا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Yaasiin[36]:54)

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
"Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS. Al-Baqarah[2]: 286)

Tiga ayat di atas merupakan kalimullah, bahwa orang yang telah mati tidak berkesempatan lagi memperoleh tambahan pahala yang dapat menyelematkannya dari siksa kubur di akhirat, kecuali yang disebutkan oleh Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam dalam hadits riwayat Imam Muslim:

  • "Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: (1) sedekah jariyah, (2) Doa anak shalih, (3) Ilmu yang bermanfaat sesudahnya."
  • "Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tidak diterima."

Hadits pertama menyebutkan, hanya ada tiga perkara yang akan mendatangkan manfaat bagi si mayit. Dari tiga perkara itu tidak ada satupun yang mengisyaratkan adanya tahlil, atau membolehkan tahlilan.

Hadits kedua lebih tegas lagi, bahwa segala perbuatan yang tidak dicontohkan Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam adalah perbuatan bid’ah. Berdasarkan hadits kedua ini, sebagian ulama menyimpulkan bahwa tahlilan bertentangan dengan Syariat karena tidak sesuai dengan enam hal yang mereka sepakati bersama. Keenam hal tersebut adalah: (1) sebab atau illat, (2) jenis, (3) kadar atau bilangan, (4) waktu, (5) tata cara atau kaifiyah, dan (6) tempat.

Karena itu jelaslah bahwa semua pahala amal ibadah manusia yang masih hidup tidak dapat dihadiakan kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan pahala yang diniatkan untuk dihadiahkan kepada si mayit tidak akan pernah sampai, dan tidak akan memberi manfaat sedikit pun bagi si mayit. Hal ini berlaku untuk seluruh aspek amal kebaikan, baik itu amal badaniyah atau maliyyah, kecuali tiga hal yang mendapat pengecualian sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim di atas.

  • PENDAPAT KEDUA
Antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah harus dibedakan. Pahala ibadah maliyyah seperti sedekah dan infak akan sampai kepada mayit. Sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Al-Quran, tidak ada pengaruhnya bagi sang mayit. Dengan kata lain pahalanya tidak akan sampai kepada mayit. Pendapat ini paling masyhur di kalangan mazhab Syafi’i dan Maliki. Mereka ber-hujjah, bahwa ibadah badaniyah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan oleh orang lain. Sama halnya ketika si mayit sendiri masih hidup, ia tidak akan bisa mewakili kewajiban shalat orang lain yang juga masih hidup. Sebab ibadahnya tidak sah, sebagaimana sabda Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam:

لاَ يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلاَ يَصُوْمُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ
"Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggugurkan kewajiban shalat orang lain, dan tidak pula melakukan puasa untuk menggantikan puasa orang lain, tetapi hendaklah ia memberi makan untuk satu hari sebanyak satu mug gandum."

  • PENDAPAT KETIGA
Doa dan juga ibadah yang diniatkan untuk mayit, baik dalam bentuk maliyah atau pun badaniyah, sangat bermanfaat bagi mayit berdasarkan dalil-dalil berikut:

Pertama: Dalil Al-Quran

Allah Subhanahu Wata'ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ

’’Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, ’’Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.’’ (QS. Al-Hasyr[59]:10)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wata'ala menyanjung orang beriman, karena mereka memohonkan ampun (istigfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan, bahwa orang yang telah meninggal mendapat manfaat dari istigfar orang yang masih hidup.

Kedua: Dalil Hadits

Dalam hadits, banyak diajarkan doa-doa yang dibaca untuk jenazah seperti doa yang ditujukan untuk mayit setelah ia dikubur, doa ziarah kubur, dan doa saat menshalati jenazah seperti sabda Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam:

"Auf bin Malik berkata: Saya mendengar Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam setelah selesai shalat jenazah berucap: "Ya Allah, ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air salju dan air embun, bersihkanlah ia dari segala dosa sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, berilah ia tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya di dunia, beri juga keluarga yang lebih baik dari keluarganya yang di dunia, juga pasangan yang lebih baik dari pasangannya di dunia. Dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka".

Dalam hadits lain dijelaskan, bahwa sedekah yang diniatkan untuk mayit, pahalanya akan sampai kepada mayit. Redaksi hadits tersebut adalah,

"Abdullah bin Abbas r.a. berkata: "Suatu ketika ibu Saad bin Ubadah meninggal dunia ketika Saad tidak berada ditempat. Lalu, ia datang kepada Nabi dan bertanya, "Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia saat saya tidak mendampinginya, jika saya bersedekah dengan niat pahalanya buat beliau, akan sampaikah pahala itu kepada ibu saya? Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam menjawab: "Ya!" Saad berkata lagi, "Saksikanlah, bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan di jalan Allah, agar pahalanya dipetik oleh ibuku."

Ketiga: Dalil Ijma’

  1. Jumhur ulama sepakat, bahwa doa yang dibaca dalam shalat jenazah, sangat bermanfaat bagi mayit. Artinya, bila ia seorang pendosa, maka doa tersebut dapat meringankan siksanya, baik dalam kubur maupun di akhirat kelak.
  2. Utang mayit dianggap lunas bila dibayar orang lain, sekalipun bukan keluarganya. Berdasarkan hadits Abu Qatadah, ketika ia menjamin akan membayar hutang seorang mayit sebanyak dua dinar. Setelah ia tunaikan utang itu Nabi Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:
أَلآنَ بَرَدْتَ عَلَيْهِ جِلْدَتَهُ
"Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya".

Pendapat ini dikuatkan pula oleh seorang pakar fiqih mahzab Hanbali, yaitu Syekh Abdullah bin Muhamad bin Humaid - rahimahullah -. Dalam kitab beliau berjudul "Gayatul Maqsud" beliau membahas secara khusus masalah ini. Beliau mengatakan;

"Bahwa seluruh ulama dari berbagai mazhab menyetujui pendapat ini. Yaitu, pahala yang diniatkan kepada mayit akan sampai padanya. Bahkan semua bentuk amal shaleh yang dilakukan orang yang hidup, lalu menghadiahkannya kepada mayit, seperti haji, sedekah, binatang korban, umrah, bacaan Al-Quran serta tahlil, takbir dan shalawat pada Nabi tidak diragukan lagi, akan sampai pada mayit."

Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah beberapa nashush fiqhiyyah dari berbagai mazhab, menyangkut masalah tahlil:

MAZHAB HANAFI
Usman bin Ali Az-Zaila’i dalam kitabnya ‘Kanzu Daqaiq’ menjelaskan dalam bab alhajju ‘an ghairihi sebagai berikut:
"Pada dasarnya, manusia memiliki hak untuk mentransfer pahala perbuatannya pada orang lain. Sebagaimana diakui oleh penganut ahli sunnah wal jama’ah, baik itu shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan Al-Quran, dzikir dan lain sebagainya. Pendeknya, semua bentuk amal kebajikan. Dan seluruh pahalanya akan sampai kepada mayit bahkan dapat memberi manfaat bagi mayit."

Pendapat ini disetujui oleh Imam Al-Marginani pada awal bab al-hajju ‘anilghair (menghajikan orang lain).

MAZHAB MALIKI
Al-Qadhi ‘Iyadh ketika menjelaskan hadits riwayat Muslim yang berbunyi;

"Mudah-mudahan kedua pelepah korma ini dapat meringankan azab orang yang baru saja dikubur selama pelepah korma ini masih basah."

Dari hadist ini, para ulama berkesimpulan bahwa bacaan Al-Quran yang diniatkan untuk mayit hukumnya Sunah. Sebab bila pelepah korma saja dapat meringankan azab sang mayit, apatah lagi bacaan ayat Al-Quran? Tentu lebih utama dari pelepah korma. Pendapat ini didukung oleh Imam Al-Qarafi dan Syekh Ibnul Haj.

MAZHAB SYAFI'I
Imam Nawawi berkata;

"Disunahkan bagi orang yang menziarahi kubur untuk menyalami penduduk kubur yang diziarahi dan mendoakan mereka. Lebih afdhal lagi bila doa yang dibaca sesuai dengan yang pernah dibaca Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam. Demikian juga, disunahkan membaca Al-Quran untuk penghuni kubur, lalu disambung langsung dengan bacaan doa bagi keselamatan mereka."

MAZHAB HANBALI
Imam Ibnu Qudamah berkata;

"Segala bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan pahala dan diniatkan untuk sang mayit muslim, insya Allah, dapat ia petik hasilnya. Apalagi doa, istigfar, sedekah dan hal-hal wajib yang memang harus ditunaikan. Para ulama sepakat, hal itu pasti dirasakan manfaatnya oleh sang mayit."

Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Taqiyuddin Muhammad bin Ahmad Al-Fatuhi dan Syaikh Mansur Al-Bahuti.

  • TENTANG MENYEDIAKAN MAKANAN
Dalam ritual tahlilan, biasanya keluarga mayit menyediakan makanan untuk disuguhkan kepada tamu yang hadir dalam acara tersebut. Mereka meniatkan suguhan itu sebagai sedekah. Padahal, Nabi Salallahu Alaihi Wassalam justru memerintahkan para tetangga atau karib kerabat keluarga yang berdukalah yang mengulurkan bantuan. Baik itu berupa makanan atau apa saja guna meringankan beban sekaligus menghibur mereka. Karenanya ungkapan rasa belasungkawa pun mereka tunjukkan dengan membawa sesuatu untuk melancarkan prosesi penguburan jenazah. Di antaranya adalahdengan membawa makanan bagi keluarga yang dilanda musibah.

Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنْ جَعْفَرَ قَالَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرَ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ ": اصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ (رواه الشافعي وأحمد).

"Abdullah bin Ja’far berkata: "Tatkala datang berita bahwa Ja’far telah terbunuh, Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda: "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far! Karena telah datang kepada mereka hal yang menyibukkan mereka." (HR. Asy-Syafi’i dan Ahmad).

Karena itu, sepatutnya yang menyediakan makanan bagi keluarga yang dilanda musibah adalah tetangganya. Bukan keluarga si mayit yang sudah tertimpa musibah, masih pula harus menyediakan makanan bagi kerabat dan handai taulan yang datang berta'ziah.

Adapun pendapat lain yang memperbolehkan keluarga si mayit menyediakan makan bagi para penta’ziah di saat tahlilan merujuk pada hadits yang menganjurkan supaya mereka bersedekah dengan niat agar si matiy mendapatkan pahalanya. Dengan demikian pahala menjamu penta'ziah saat tahlilan semata-mata dimaksudkan untuk dihadiahkan bagi si mayit.

Akan tetapi perlu kiranya diingat bahwa memberi makan para penta'ziah dalam kondisi duka seperti ini bukan merupakan hal yang wajib. Oleh karenanya, jangan sampai keluarga yang berduka memaksakan diri menjamu tamu. Apalagi sampai berhutang demi memenuhi kebutuhan jamuan tersebut, atau lebih mendahulukan jamuan daripada hal-hal lain yang sifarnya wajib, semisal menunaikan wasiat dan melunasi hutang-hutang si mayit.

  • TENTANG TA'ZIAH
Sebenarnya, sejak dulu ta’ziyah sudah sering dibahas ulama fiqih. Dalam literatur fiqih, bahasan ta’ziyah masuk kategori bab ibadah. Ta’ziyah tidak dapat dipisah dari permasalahan jenazah, atau ketika para ulama membahas hukum mengunjungi orang sedang sakaratulmaut atau meninggal dunia. Termasuk di dalamnya hukum memandikan mayit, mengkafankan, menguburkan sampai menshalatinya. Maka ta’ziyah, tentu saja, tidak akan luput dari perbincangan ulama. Ia ibarat ungkapan belasungkawa seseorang sebagai ekspresi dari rasa solidaritas terhadap musibah yang menimpa saudaranya.

  • PENGERTIAN TA'ZIAH
Menurut bahasa, ta’ziyah bersumber dari akar kata ‘azza. Artinya, menghimbau agar bersabar, atau membantu melapangkan dada seseorang yang sedang ditimpa musibah. Sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa definisi ulama. Akan teapi semuanya tidak keluar dari makna lugawi di atas. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Syarbini al-Khatib menjelaskan, bahwa ta’ziyah adalah:

"Menasehati orang yang berduka cita untuk tetap sabar. Mengingatkan ganjaran yang dijanjikan bagi orang sabar dan kerugian bagi orang yang tidak sabar. Memohonkan ampunan kepada si mayit, agar tegar menghadapi musibah."

Imam Nawawi berkata:

"Ta’ziyah adalah menyabarkan, dengan wasilah apa saja yang dapat menyenangkan perasaan keluarga mayit, dan meringankan kesedihannya."

Imam Al-bahuti Al-Hanbali, menyebutkan:

"Ta’ziyah adalah menghibur dan memberi semangat kepada orang yang ditimpa musibah agar tetap sabar. Mendoakan si mayit bila ia seorang muslim atau muslimah."

Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan ta’ziyah adalah:

"Menghibur keluarga mayit dan membantu tunaikan hak mereka, serta senantiasa berada di dekat mereka."

  • HUKUM TA'ZIAH
Para fuqaha sepakat bahwa hukum ta’ziyah hanyalah sunnah. Tidak ada seorang pun memperselisihkan hal ini. Di bawah ini beberapa kutipan ringkas pendapat mereka:

Ad-Dardiri: "Disunatkan ta’ziyah untuk keluarga mayit."

Ibnu ‘Abidi: "Disunatkan ta’ziyah bagi siapa saja. Untuk perempuan tentu bagi yang tidak menimbulkan fitnah."

An-Nawawi: "Imam Syafi’i dan murid-muridnya berpendapat bahwa ta’ziyah hukumnya sunnah."

Ibnu Qudamah: "Disunatkan untuk ta’ziyah kepada keluarga mayit. Sejauh ini, tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini, hanya saja Imam Tsauri membatasi hukum sunnah di sini sebelum dikuburkan. Setelah penguburan selesai ta’ziah tidak dianjurkan lagi, karena segala urusan yang berhubungan dengan mayit telah selesai."

Al-Wazir bin Habirah: "Semua ulama sepakat, bahwa hukum ta’ziyah adalah sunnah."

Dari pernyataan ulama-ulama berbagai mazhab di atas maka jelaslah bahwa hukum ta’ziyah hanya sunat. Tidak ada seorang pun dari mereka yang menyatakan wajib, atau sebaliknya, bahwa ta’ziyah tidak boleh. Kendati demikian, ada beberapa dalil yang menyatakan bahwa ta’ziyah itu masyru’ seperti di antaranya:

"Sesungguhnya Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda, "Barang siapa menghibur saudaranya yang seiman kala ditimpa musibah, maka Allah akan mengenakan ia sebuah pakaian berhias dengan warna hijau menyenangkan di hari kiamat kelak. Sahabat bertanya, ya Rasulullah, apakah yang menyenangkan itu? Dijawab oleh Rasulullah, yaitu sesuatu yang membuat orang iri padanya." [HR Anas r.a]

"Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda: "Barang siapa menghibur saudaranya yang ditimpa musibah, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang ditimpa musibah tersebut." [HR Abdullah bin Mas’ud r.a]

"Sesungguhnya Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda: "barang siapa menghibur wanita yang kehilangan anaknya (wafat), maka Allah akan memakaikannya pakaian kebesaran di dalam surga." [HR Abu Bazrah r.a]

  • HIKMAH TA'ZIAH
Tentu saja ta’ziyah memiliki hikmah yang dalam sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Bahkan hikmah yang terkandung di dalamnya amat banyak, baik yang tampak maupun yang tersirat. Karena itu, sebagian ulama menjabarkan hikmah yang dikandung dalam ta’ziyah. Di antaranya adalah penjelasan Al-Shawi Al-Maliki yang dinukil dari Ibnu Qasim bahwa sesungguhnya ta’ziyah memiliki tiga hikmah besar.

Pertama: memberikan kemudahan dan jalan keluar kepada keluarga mayit. Menghibur mereka agar tetap tabah dan teguh hati dalam bersabar. Mengingatkan pahala sabar. Dan ridha atas ketentuan Allah dengan menyerahkan segala urusan kepada-Nya semata.

Kedua: berdoa agar Allah Subhanahu Wata'ala mengganti musibah tersebut dengan ganjaran pahala yang (sangat) besar.

Ketiga: mendoakan dan memohonkan ampun bagi si mayit agar Allah Subhanahu Wata'ala senantiasa mengasihinya.

Selain ketiga hikmah di atas, Ibnu Qasim menambahkan hikmah lain dari ta'ziah sebagai berikut:

Momentum bagi keluarga si mayit untuk mengingat dan berbuat amal kebajikan serta senantiasa mengingat Allah Subhanahu Wata'ala. Menyadari bahwa kematian dapat menjemput kapan saja, dan di mana saja. Sebab, sesungguhnya kematian itu amatlah dekat dengan manusia. Maka hendaknya setiap anggota keluarga yang ditinggalkan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya menyongsong kematian yang akan datang kapan saja. Agar dengan demikian, saat dirinya menghadap Allah Subhanahu Wata'ala kelak, maka seluruh jiwa dan raganya sudah dalam keadaan ridha dan Insya Allah, mendapat ridha dari Allah Subhanahu Wata'ala pula. Di samping itu, ta'ziah dapat pula mencegah keluarga si mayit dari perilaku maksiat yang dimurkai Allah Subhanahu Wata'ala setelah kematiannya.

  • KESIMPULAN
Ditinjau dari aspek membaca ayat-ayat Al-Quran, tahlil, tahmid, takbir, tasbih, shalawat, doa dll, maka kesemuanya sangat dianjurkan oleh Islam untuk dilaksanakan. Bacaan Al-Quran, tasbih, istigfar dan amalan-amalan lain yang dihadiahkan kepada si mayit pun, Insya Allah, akan sampai pahalanya sebagaimana yang diniatkan. Demikian pula dengan menyediakan makan dan melaksanakan ta'ziah.

Pembaca dapat menelaah kembali pendapat-pendapat ulama di atas melalui bebagai literatur bebas dari ensiklopedi hukum Islam yang ada. Tulisan ini hanya stimulan awal, untuk kemudian dikaji lebih luas dan mendalam pada kesempatan lain.

Demikanlah uraian singkat ini disampaikan dengan harapan semoga dapat memperkaya pemahaman kita tentang ajaran Islam. Hanya kepada Allah jualah kita bermohon, mudah-mudahan kita diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah.
Amin ya Rabbal ‘Alamin!


[Oleh Luqmanul Hakim Abubakar - Dari Blog Bismillah]


Senin, 14 Februari 2011

PENGERTIAN SYIRIK

Dalam pengertian yang paling sederhana, Syirik adalah suatu perbuatan (dalam sikap dan, atau niat) terutama menyangkut aqidah di mana seseorang melakukan sesuatu bukan sepenuhnya karena Allah SWT - atau secara sadar mencampur baurkan ke-esaan dzat Allah SWT dengan unsur-unsur lain yang menurut ajaran Islam dapat diartikan sebagai perbuatan menyekutukan Alah SWT. Adapun menurut sifatnya, Syirik terbagi dalam 3 (tiga) kelompok besar yakni:

1. SYIRIK YANG MENYELISIHI SIFAT-SIFAT ALLAH TA'ALA

a. Syirik Rububiyyah, yaitu meyakini bahwa selain Allah ada yang mampu menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan atau mematikan dan hal-hal lain dari sifat-sifat rububiyyah.

b. Syirik Uluhiyyah, yaitu meyakini bahwa selain Allah ada yang mampu memberikan madharat atau manfaat, memberikan syafaat tanpa izin Allah, dan lainnya yang termasuk sifat-sifat uluhiyyah.

c. Syirik Asma' Wa Sifat, yaitu meyakini atau percaya kepada makhluk Allah yang memiliki sifat-sifat khusus yang dimiliki Allah Ta'alla, seperti mengetahui perkara gaib, dan sifat-sifat lain yang merupakan kekhususan Rabb kita yang Maha Suci.


2. SYIRIK MENURUT KADARNYA

a. Syirik Akbar (besar), yaitu syirik dalam keyakinan, dan hal ini mengeluarkan pelakunya dari agama islam.

  • Syirik dalam berdoa, yakni merendahkan diri kepada selain Allah dengan tujuan untuk istighatsah dan isti'anah kepada selain-Nya.
  • Syirik dalam niat, kehendak dan maksud, manakala melakukan ibadah semata-mata ingin mendapat pujian, atau untuk kepentingan-kepentingan bersifat duniawi lainnya.
  • Syirik dalam keta'atan, yaitu menjadikan sesuatu sebagai pembuat syariat selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala atau menjadikan sesuatu sebagai sekutu bagi Allah dalam menjalankan syariat dan ridho atas hukum tersebut.
  • Syirik dalam kecintaan, adalah mengambil makhluk sebagai tandingan bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Menyetarakan kecintaannya kepada makhluk dengan kecintaanya kepada Allah SWT.

b. Syirik Ashghar (kecil), yaitu Riya', hal ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama islam, akan tetapi mewajibkan pelakunya untuk bertaubat. Riya' bukan satu-satunya yang termasuk dalam Syirik Ashgar. Atau Riya' memang termasuk Syirik Ashghar namun tidak semua Syirik Ashghar berupa Riya'.

c. Syirik Khafi (tersembunyi), yaitu seorang melakukan amal dikarenakan keberadaan orang lain, hal ini pun termasuk dalam Riya', dan hal ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, namun pelakunya wajib bertaubat.


3. SYIRIK MENURUT TEMPAT KEJADIAN


a. Syirik I'tiqodi, yaitu Syirik yang berupa keyakinan, misalnya meyakini bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang menciptakan kita dan memberi rizki pada kita namun di sisi lain juga percaya bahwa dukun misalnya, dapat mengubah takdir yang telah digariskan Allah SWT kepada kita. Hal ini termasuk Syirik Akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama islam.

b. Syirik Amali
, yaitu setiap amalan zahir yang dinilai oleh syari'at islam sebagai sebuah kesyirikan, seumpama menyembelih hewan (atau makhluk Allah lainnya) untuk selain Allah, dan bernazar untuk selain Allah dan lain sebagainya.

c. Syirik Lafzhi
, yaitu setiap lafazh yang dihukumi oleh syari'at islam sebagai sebuah kesyirikan, seperti bersumpah dengan selain nama Allah, seperti misalnya , "Tidak ada bagiku kecuali Allah dan engkau", dan "Aku bertawakal kepadamu", "Kalau bukan karena Allah dan si fulan maka tak akan begini dan begitu jadinya", dan lafazh-lafazh lainnya yang mengandung unsur kesyirikan (menyekutukan Allah SWT).

Dengan mengetahui serba sedikit tentang Syirik ini mudah-mudahan kita dapat menghindari diri darinya, mendorong diri untuk senantiasa berupaya mempertebal keyakinan dan iman kepda Allah SWT agar tidak terjatuh dalam kesyirikan dalam bentuk apapun, atau dengan cara apa pun juga. Wallahualam Bissawab.



Sumber: Penjelasan Al-Qaul Al-Mufid fii Adillati At-Tauhid (terjemahan)


Minggu, 13 Februari 2011

NIKMATNYA SESAT

Oleh Abdullah Wong, ditulis pada Ahad, 6 Pebruari 2011, pukul 10.15. ketika ditulis, penulis tidak tahu pada saat yang sama tengah berlangsung peristiwa di Banten. Sebelumnya penulis berharap tulisan ini dapat dimuat di sebuah media cetak. Tapi karena tulisan ini sangat buruk, jadi saya bagi untuk Anda di internet. Selamat Menikmati.

Sebelumnya saya mohon maaf. Coba sekali ini saja, tanyakan sejenak dalam hati Anda, mengapa Anda tertarik untuk membaca “Aliran Sesat”? Apakah Anda termasuk orang yang sedang mencari bahan atau informasi tentang ciri-ciri atau identitas kesesatan seseorang atau suatu kelompok? Sehingga ketika Anda bertemu orang lain atau kelompok tertentu, Anda dapat langsung menilai bahwa orang tersebut sesat, berdasarkan informasi atau ciri-ciri yang Anda terima. Ataukah Anda sendiri sedang gelisah dan khawatir, kalau-kalau Anda berada dalam kesesatan? Sehingga Anda merasa perlu untuk mencari tahu, jangan-jangan apa yang selama ini Anda pahami adalah kesesatan yang nyata. Atau mungkin Anda sedang iseng, karena siapa tahu ada informasi tertentu tentang kesesatan yang selama ini belum Anda dapatkan? Atau mungkin, Anda adalah orang yang sangat serius mencari dan menggali informasi tentang kesesatan? Sehingga Anda tidak akan mudah menyetempel orang lain dengan label sesat? Tapi, kalau pun Anda bukan termasuk dari semua yang saya asumsikan, maka jelas kiranya, bahwa asumsi saya ini sudah mengandung kesesatan.

Kalau selama ini Anda punya kebiasaan atau mungkin hobby menyesatkan orang lain, pernahkah Anda berpikir sebagai pribadi yang berada dalam kesesatan? Atau karena saking benarnya Anda, sehingga Anda tidak sempat untuk menyadari bahwa Anda sendiri sesungguhnya sesat. Mungkin aneh, apalagi ungkapan-ungkapan saya ini terkesan hanya memutar balik kata-kata. Padahal, apa yang ingin saya ajukan, adalah kemungkinan-kemungkinan atau ciri-ciri, kenapa saya seringkali disebut sebagai sesat.

Baiklah, anggap saja saya yang sesat dan Anda yang benar. Kalau keadaannya demikian rasanya lebih mudah dan nyaman. Setidaknya untuk Anda yang selalu suka dalam zona nyaman (comfort zone) sambil bermain di time zone. Karena Anda sebagai yang benar, akan lebih mudah melihat jalan pikiran orang yang sesat seperti saya. Dan Anda tidak perlu pusing, apalagi mau percaya dengan saya, toh saya ini adalah sesat! Lanjutkan saja kebenaranmu yang agung itu, teruskan saja mengakui diri Anda sendiri sebagai yang paling benar, dan biarkan saya saja yang tetap sesat. Oke? Hidup sesat!

Maka, inilah ciri-ciri kesesatan saya. Boleh jadi, ini adalah Aliran Sesat tapi belum memiliki badan hukum, karena kebetulan belum sempat diajukan ke notaris. Saya adalah seorang lelaki yang kebetulan terlempar lahir di jagat ini tanpa saya rencanakan sendiri sebelumnya. Karena saya tidak pernah merencanakan, maka otomatis saya tidak pernah tahu apa itu kehidupan, siapa sejatinya saya, juga kemana akhir dari kehidupan. Secara kebetulan, saya beragama Islam, karena memang orangtua dan keluarga saya beragama Islam. Setelah melewati sekian perjalanan dan pendidikan, saya justru semakin ragu dengan keyakinan yang saya ikuti secara turun temurun. Orang lain mungkin mengatakan, nikmat terbesar adalah nikmat Iman dan Islam. Tapi bagi saya, itu hanya anggapan pikiran kita sendiri saja. Kalau orang lain semakin yakin karena ada ayat atau hadis yang menyatakan itu, lagi-lagi itu hanya cara kita memahaminya. Islam dan Iman yang seperti apa? Kalau Anda membaca ayat-ayat itu dengan tafsir, maka saya yang sesat juga punya perangkat-perangkat tafsir. Tapi sudahlah, tidak keren kalau kita berantem hanya soal tafsir. Apalagi si Tafsir, kawanku itu, sekarang sudah jadi anggota DPR. Yang jelas, saya menjalani Islam adalah sebagai upaya melanjutkan keyakinan dan tradisi orang tua. Tentu saja yang saya rasakan keislaman saya tidak pernah utuh.

Lalu? Saya harus memilih sendiri jalan yang saya anggap benar. Sekali lagi menurut anggapan saya. Dan entah kenapa pilihan saya, jatuh pada agama yang disebut Islam. Mungkin karena sisa-sisa ajaran orang tua dan lingkungan yang masih sangat memengaruhi saya. Padahal dengan sepenuh hati, saya juga memelajari agama-agama lain, berinteraksi dan menanyakan langsung dengan tokoh-tokoh agama lain. Namun entah kenapa, saya masih takut kalau ajaran lain salah. Dan saya merasa nyaman, bahwa hanya Islam saja yang benar. Tentu saja, ini semua juga masih dalam anggapan saya saja.

Apakah kebenaran itu bisa selesai oleh sebuah anggapan seperti yang saya lakukan ini? Kalau demikian, kenapa umat lain sangat yakin dengan ajaran yang mereka anut? Bukankah itu sebuah anggapan juga? Kalau masing-masing umat punya keyakinan-keyakinan sendiri tentang kebenaran, lalu dimana kebenaran yang sejati? Kalau sudah sampai di sini, biasanya suatu kelompok atau agama tertentu akan berkata, “Ya hanya keyakinan kami yang benar!” “Oke, ajaran Anda yang benar, tapi apa alasannya?” Maka dengan santai Anda akan menjawab, “Tentu saja, karena di kitab suci kami, ada satu ayat yang menyebutkan bahwa hanya agama “inilah” yang benar.” “Lho, bagaimana kami akan percaya dengan alasan itu, bukankah itu adalah kitab yang Anda percayai, sementara saya sama sekali tidak percaya dengan agama Anda, apalagi kepada kitab yang Anda percaya itu. Kalau hanya itu alasannya, di dalam kitab saya juga ada ayat yang menyebutkan bahwa ajaran sayalah yang paling benar.” Lagi-lagi kita akan berantem. Ujungnya, biasanya akan muncul ungkapan, “Okelah kalau begitu, silakan saudara yakini agama dan kepercayaan saudara, kita buktikan nanti di akhirat, siapa yang benar.” Wah-wah, luar biasa agama sudah dipertaruhkan. Dan tanpa sadar saya tetap kukuh dengan keyakinan yang saya anggap benar. Sekali lagi yang saya sanggap benar.

Baik, saya akan lanjutkan ciri-ciri kesesatan saya. Jujur saja, selama ini saya memilih agama Islam karena saya punya harapan sekaligus punya kekhawatiran. Harapan saya tentu saja ingin selamat di dunia, sukur-sukur nanti di akhirat. Sedangkan kekhawatiran saya adalah jika saya tidak memilih Islam, maka saya akan sengsara di dunia dan juga nanti di akhirat. Persis seperti doa sapu jagat itu. Amit-amit jabang bayi. Ternyata, saya memilih dan meyakini agama Islam semata-mata demi kepentingan saya sendiri. Ya, jujur saja, saya beragama Islam, beribadah, berbuat baik, salih, semata-mata karena supaya selamat dan diselamatkan oleh Tuhan. Kehidupan agama dan sosial saya tidak pernah otentik! Karena apa yang selama ini saya lakukan hanya demi memenuhi ego dan kepentingan diri semata. Mulai dari selamat dan damai di dunia, sampai nanti akan masuk surga dan bahagia selama-lamanya. Ya, ternyata selama ini saya beribadah demi sebuah kepentingan diri.

Sepanjang itu pula, saya sangat bergantung pada amal. Saya paling takut kalau saya tidak mengerjakan amal ibadah. Saya akan begitu merasa lega kalau misalnya sudah mengerjakan shalat. Rasanya kewajiban saya sudah gugur. Tak peduli apakah orang lain sengsara atau masuk neraka. Karena yang ada dalam benak saya adalah bahwa Tuhan hanya akan menerima hamba yang memiliki amalan yang cukup. Pantas saja selama ini saya takut mati! Karena saya masih terus merasa kurang menjalani amal ibadah saya. Ibadah yang saya jalani selalu dalam ukuran kualitatif. Wajar saja bila saya masih selalu merasa kurang lengkap dan kurang ikhlas menjalani ibadah saya. Tapi bagaimana saya bisa ikhlas, sementara semua ibadah yang saya lakukan adalah demi kepentingan saya sendiri? Ketergantungan saya terhadap amal ini saya pertaruhkan. Saya tidak peduli dengan prinsip Allah sebagai tempat bergantung (Allahusshomad). Saya tak peduli dengan prinsip Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamaati lillahi robbil’alamin. Itu cukup di mulut saya saja. Inilah kesesatan saya yang nyata. Tapi, tenang saja, Anda masih golongan yang benar. Anda tentu tidak begitu, bukan?

Lalu saya mencoba menjalani kehidupan Islam saya secara lebih ketat. Saya mencoba mengikuti jalan tarikat sebagai titian khusus seorang pencari kebenaran. Di sana, saya malah semakin tergantung pada amal. Saya merasakan bagaimana saya mengagungkan amalan-amalan, wirid-wirid tertentu, yang bila semakin banyak saya lakukan, saya makin merasa nyaman dan tentram. Tentu saja merasa tentram, karena saya merasa memiliki amalan yang cukup. Dzikir dan tarikat yang saya jalani, semakin menjadi adiktif, membuat saya selalu ketagihan. Dzikir dan kontemplasi hanya menjadi pelarian di malam hari, tapi ketika siang hari datang, hati kembali berkobar dalam angkara. Di sini, saya tidak mendapatkan akar. Semua ritual yang konon dapat menghapus kegelisahan, ternyata hanya pengalihan sesaat. Keasyikan berzikir, sama nilainya dengan keasyikan bermain drum, bermain gitar, atau membacakan sajak. Semua upaya batin melalui olah nafas, zikir pelan dan keras, konsentrasi dan sebagainya tetap saja menjadi sebentuk pengalihan. Hebatnya, kondisi saya yang dipenuhi ragam amalan yang dilakukan terus-menerus membuat saya selalu siap untuk mati. Tapi ujung-ujungnya sama saja, siap mati karena kesadaran mengagungkan amal. Keyakinan yang semakin kuat adalah, hanya sang amal yang akan menyelamatkan saya. Padahal konon, Tuhan memanggil, “Hai jiwa yang tenang, pulanglah ke pangkuan-Ku.” Bukan berkata, “Hai amal-amal yang banyak, datanglah.”

Dalam tarikat itu pula saya asik dengan “upaya” pembersihan diri. Saya merasa sanggup untuk membersihkan diri saya sendiri. Bahkan, upaya-upaya pembersihan diri (tazkiyah nafs) itu, memberi peluang kepada saya untuk menjadi sok suci, yang ujungnya merendahkan pribadi lain yang dianggap “kotor”. Hebat, bukan? Dengan apa? Tentu saja saya membersihkan jiwa saya dengan semua amalan yang mesti saya lakukan. Semakin banyak wirid yang saya baca, maka semakin bersihlah saya. Itu logika sederhana saya. Seperti lagu Rhoma Irama dalam ungkapan lain, “Kau yang mengotori, kau yang membersihkan.”

Tak hanya itu, saya juga semakin mantap karena dalam satu tarikat itu, hadir sosok guru yang biasa disebut mursyid. Wah, dengan keberadaan seorang mursyid, saya semakin nyaman lagi. Apalagi sang mursyid dengan bahasa cintanya sering mengakatan bahwa dirinya akan menyelematkan para pengikutnya melalui syafaatnya, kelak di akhirat. Tentu saja, saya yang sesat ini, tidak percaya bahwa puncak syafaat sesungguhnya adalah kesadaran. Alih-alih saya lebih berharap dan mendapat tempat di hati mursyid, ketimbang Tuhan. Sosok mursyid benar-benar telah menggantikan posisi Tuhan dalam hati saya. Maka, saya selalu cari perhatian (caper) di hadapan mursyid saya sendiri. Saya akan selalu tampil sok salih dan sok suci. Maka, tak peduli siang tak peduli malam, saya akan lakukan apa saja demi mursyid saya. Saya akan nyaman untuk bangun pada setiap malam, menunaikan shalat malam, berzikir sampai ribuan kali. Tapi kali ini beda, saya bukan lagi ingin selamat atau takut neraka, tapi saya melakukan semua itu demi tujuan yang lebih keren lagi; yakni mencapai Ma’rifat. Mantap, to? Maka ma’rifatlah yang menjadi tujuan saya. Dalam ekspresi lidah saya, memang mengatakan hanya Tuhan yang saya tuju, hanya Tuhan yang saya maksud, namun pelan-pelan dalam hati saya juga berdesir, saya juga ingin selamat, lho! Lagi-lagi, semua itu saya lakukan demi sebuah harapan. Harapan ma’rifat, atau pun harapan keselamatan diri. Inilah kesesatan saya. Kalem aja, sampai di sini Anda masih termasuk kelompok yang benar. Kalau pun Anda begitu, pasti tidak begitu-begitu amatlah!

Bah! Lalu kemana lagi? Ah, tidak usah mikirin orang sesat, kita lanjutkan saja bukti kesesatan saya yang lain. Bukankah akan disebut Tuhan jika DIA Mutlak Tak Terbatas? Kalau memang Tuhan itu Mutlak tak terbatas, maka tidak ada batasan-batasan cara untuk mendapatkan Tuhan. Tapi saya tetap menghargai Anda yang meyakini bahwa Tuhan yang benar adalah Tuhan yang Anda yakini itu. Tapi ingat, karena Tuhan itu Maha Mutlak, maka begitu banyak cara Tuhan—yang tak terbatas itu—untuk menghampiri hamba-hamba-Nya. Tapi tak ada satu jalan pun dari hamba untuk sampai kepada Tuhan. Hebat sekali kalau saya beranggapan bahwa saya akan sampai kepada Tuhan. Memangnya Tuhan itu terminal? Tuhan adalah Sang Kebenaran Yang Mutlak (Al-Haq). Dan kalau ada seseorang yang mengaku paling mengetahui Tuhan secara utuh, maka saya akan segera datangi orang itu, dan saya akan sembah orang itu. Karena dia ternyata lebih hebat dari Tuhan. Apa hebatnya? Karena orang itu merasa bisa mengetahui Tuhan dengan caranya. Memangnya kita bisa melihat benda-benda di sekitar kita tanpa keberadaan cahaya (matahari)? Coba saja masuk ke dalam kamar gelap tanpa cahaya. Buka mata lebar-lebar, apakah kita bisa melihat? Tidak! Kita melihat karena ada cahaya. Dan bodoh sekali rasanya ketika di siang hari kita bisa melihat sesuatu, tanpa menyadari keberadaan Matahari.

Entahlah. Bagi saya yang sesat ini, kebenaran adalah negeri tanpa jalan. Menurut saya, manusia tidak bisa sampai kepada kebenaran melalui organisasi, melalui kepercayaan, melalui dogma, pendeta, mursyid, syekh, kyai, wali, artis, atau bahkan ritual apa pun. Tidak pula kebenaran diperoleh melalui pengetahuan filosofis atau teknik-teknik psikologis. Kebenaran juga tidak bisa didapatkan hanya adengan memperbanyak amalan, ibadah, meditasi, kholwat atau yang sejenis. Kebenaranlah yang akan menemukannya sendiri dalam kesadaran batin sendiri. Kebenaran tak bisa didapatkan melalui “cara”; apakah itu cara analisis intelektual, filosofis, metafisik, atau pembedahan introspektif.

Kemudian, kalau pun saya memilih agama tertentu, sekali lagi lebih karena asumsi-asumsi saya sendiri. Apalagi kalau yang menyampaikan sekaligus menguatkan adalah seseorang wali yang bisa menghilang dan terbang, wah saya akan semakin mantap dengan keyakinan saya. Saya akan mengatakan bahwa matahari itu panas, tergantung pendapat guru saya. Kalau guru saya mengatakan matahari itu dingin, maka saya akan menerima kebenaran itu. Meskipun jelas-jelas saya merasakan sengatan mahatari yang terik. Maka, saya juga tidak perlu membuktikan es itu dingin, karena percuma saja saya rasakan dinginnya es kalau ternyata sang guru mengatakan bahwa es itu panas. Kebenaran yang saya dapatkan adalah kebenaran kata orang. Bukan Sang Kebenaran itu sendiri yang bicara.

Bila demikian, sepertinya saya tidak akan pernah bisa mendapatkan kebenaran. Karena saya tidak pernah pasrah untuk menerima kebenaran. Karena yang selama ini saya lakukan adalah upaya keras untuk mendapatkan kebenaran. Saya akan melakukan cara apa saja, demi mendapatkan kebenaran. Maka, kebenaran yang saya dapatkan adalah kebenaran melalui cara-cara tertentu, upaya-upaya tertentu, motif-motif tertentu, dan keyakinan-keyakinan tertentu. Bahkan pada pengamatan terhadap pohon atau rumput, selalu menyertakan si "aku". Si Aku selalu muncul pada setiap pengamatan dan penyaksian. Lalu bagaimana pengamatan bisa murni (mukhlis) dan utuh (akmal)?

Selagi saya meyakini ajaran saya yang seperti ini, jiwa saya tidak pernah merasa bebas dan merdeka. Karena saya selalu membangun citra-citra tertentu sebagai pagar keamanan, keimanan, politis dan pribadi. Pantas saja saya masih memilih agama sesuai asumsi diri. Saya akan terus didominasi oleh pemikiran, anggapan, relasi dan kehidupan sehari-hari orang lain. Harapan memiliki citra ini dan citra itu, adalah penyebab utama dari kesesatan saya sendiri. Apalagi selama ini pula, kepercayaan atas kebenaran yang saya yakini, dibentuk oleh konsep-konsep yang telah tertanam dalam batin saya. Maka, kebebasan saya tidak pernah superfisial, tapi selalu artifisial. Kebenaran yang saya jalani tidak pernah utuh dan otentik. Bagaimana saya tidak bebas merdeka, bagaimana saya tidak sesat, sementara apa yang saya amati selalu dipenuhi motif pribadi. Saya tidak pernah polos dalam pengamatan. Saya tidak pernah lepas dari rasa takut hukuman atau harapan ganjaran.

Sampai di sini, Anda masih sebagai kelompok yang benar. Dan tentu saja, saya masih bercokol dalam kesesatan yang nyata. Meski kesesatan yang saya rasakan juga masih berangkat dari asumsi saya. Artinya, kalau boleh berasumsi, saya juga bisa beranggapan bahwa Anda juga sesat, selagi itu masih menggunakan pikiran-pikiran Anda sendiri. Ah, tapi tidak. Pikiran Anda tepat, kok. Anda tetap sebagai golongan yang benar. Bukankah ini logika yang sudah kita sepakati bersama? Anda benar, dan saya akan tetap dan terus salah. Oke?

Dan bukti-bukti kesesatan saya yang lain adalah, setiap kali saya bertindak, tindakan saya selalu didasarkan pada pengetahuan. Padahal, pengetahuan hanyalah akumulasi waktu. Kenapa waktu? Karena pengetahuan adalah produk pikiran yang sudah lampau. Bukankah, pengetahuan hanya kumpulan pikiran-pikiran yang mendokumentasikan akan hal-hal lampau? Dengan demikian, maka selama ini saya selalu diperbudak oleh masa lalu. Pantas saja saya selalu didera konflik dan pergulatan terus menerus, ini karena saya masih bermain dan mengerahkan pikiran saya. Saya sudah mencoba ketika melihat matahari, rumput, kecoa, dan pori-pori. Meski saya berusaha jujur menyaksikan, tapi lagi-lagi selalu muncul affirmasi pengetahuan yang selama ini saya peroleh. Selalu saja di sana muncul si Aku.

Ah, meski sesat, tapi saya tetap keren. Toh saya masih menganut prinsip Laa ilaha illa Allah. Bukankah prinsip itu yang menjadi pondasi ajaran Islam? Tapi, Laa ilaha illa Allah yang saya pahami hanya sebatas ucapan. Saya tak mampu melakoni kesadaran Laa maujuda illa Allah atau pun Laa Masyhuda illa Allah. Buktinya ketika saya melihat, saya masih menyadari keberadaan sosok yang melihat. Saya masih menyadari keberadaan saya ketika saya berjalan, menulis, atau apa pun. Apa buktinya? Karena saya berasumsi. Sementara asumsi atau persepsi adalah buah pikiran. Sedangkan pikiran adalah produk si “aku”. Bagaimana saya bisa tidak sesat sementara masih ada si "Aku” dalam semua hal? Bukankah Tidak Ada Tuhan kecuali yang dikecualikan?

Bagaimana? Jelas sudah kesesatan saya to? Memang itu di antara sekelumit kesesatan saya. Dan saya bangga dengan kesesatan ini, sementara Anda masih baik-baik saja dengan kebenaran Anda. Anda tak perlu khawatir, karena Anda lebih oke dibanding saya. Ingat, logika yang telah kita sepakati bersama, “Saya sesat, Anda benar. Atau, Anda benar, saya sesat.” Kini saya hanya bisa melenggang, sambil bernyanyi, “Sesat-sesat di dinding, diam-diam merayap, datang Sang Kebenaran, HAQ, lalu ditangkap!”***


Photobucket