ALQURAN MEMBAWA KEBERKAHAN

Dan ini (Al Qur'an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberikan peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Qur'an), dan mereka selalu memelihara shalatnya. (Surat Al An'aam: ayat 9)

Mukhjizat AlQuran

"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).

IQRA'

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

ALQURAN TERPELIHARA

"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).

DI BAWAH NAUNGAN ALQURAN

Ya Allah, jadikanlah kami ahlul Quran dan jangan Engkau haramkan kepada kami untuk memahami Al-Quran, dan berikanlah kepada kami taufik dan hidayahMu agar kami senantiasa mampu untuk mengamalkan Al-Quran...

Photobucket

Minggu, 30 Mei 2010

SEJARAH ISLAM NUSANTARA

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.



Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?



Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.



Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.




Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.




Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.




Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.



Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.




Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.




Temuan G. R Tibbets


Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.



“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China. Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.



Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).



Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.




Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara

Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.




Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.




Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.
Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!



Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.




Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur. Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan.



Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam.



Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)
Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M. Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).



Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39). Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.



Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.
Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman. Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang.



Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.



Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).
Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.



Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.



Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.




Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..
Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.



“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).



Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.




Gujarat Sekadar Tempat Singgah

Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.



Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa. Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah. (Rz)



Dari: eramuslim - swaramuslim





Sabtu, 29 Mei 2010

ANTARA HAK ANAK DAN KEWAJIBAN IBU

Anak, sebagai darah daging kedua orang tua, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibunya. Anak mempunyai hak-hak yang merupakan kewajiban orang tuanya, terutama ibu, untuk memenuhinya. Jadi bukan hanya anak yang mempunyai kewajiban atas orang tua, tetapi orang tua pun mempunyai kewajiban atas anak. Secara ringkas kewajiban orang tua atas anaknya adalah sebagai berikut:

1. MENYUSUI

Wajib atas seorang ibu menyusui anaknya yang masih kecil, sebagaimana firman Allah:

"Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan." (QS Al Baqarah: 233)

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. lbunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkanya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan." (QS Al Ahqaf 15).

Al 'Allamah Siddiq Hasan Khan berkata,
"Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Maksudnya, adalah jumlah waktu selama itu dihitung dari mulai hamil sampai disapih." [2]

2. MENDIDIK

Mendidik anak dengan baik merupakan salah satu sifat seorang ibu muslimah. Dia senantiasa mendidik anak-anaknya dengan akhlak yang baik, yaitu akhlak Muhammad dan para sahabatnya yang mulia. Mendidik anak bukanlah (sekedar) kemurahan hati seorang ibu kepada anak-anaknya, akan tetapi merupakan kewajiban dan fitrah yang diberikan Allah kepada seorang ibu.

Mendidik anak pun tidak terbatas dalam satu perkara saja tanpa perkara lainnya, seperti (misalnya) mencucikan pakaiannya atau membersihkan badannya saja. Bahkan mendidik anak itu mencakup perkara yang luas, mengingat anak merupakan generasi penerus yang akan menggantikan kita yang diharapkan menjadi generasi tangguh yang akan memenuhi bumi ini dengan kekuatan, hikmah, ilmu, kemuliaan dan kejayaan.

Berikut beberapa perkara yang wajib diperhatikan oleh ibu dalam mendidik anak-anaknya:

2.1 Menanamkan Aqidah Yang Bersih

Menanamkan aqidah yang bersih, yang bersumber dari Kitab dan Sunnah yang shahih.

Allah berfirman:
"Maka ketahuilah bahwa sesugguhnya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah." (QS Muhammad: 19)

Rasulullah bersabda:
"Dari Abul Abbas Abdullah bln Abbas, dia berkata: Pada suatu hari aku membonceng di belakang Nabi, kemudian beliau berkata, 'Wahai anak, Sesungguhnya aku mengajarimu beberapa kalimat, yaitu: jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapatiNya di hadpanmu. Apablla engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau mohon pertotongan, maka mohonlah pertotongan kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberimu satu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk memberimu satu bahaya, niscaya mereka tidak akan bisa membahayakanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena-pena telah diangkat dan tinta telah kering." [3]

Dan dalam riwayat lain beliau berkata:
"Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatiNya di hadapanmu. Perkenalkanlah dirimu kepada Allah ketika kamu senang, niscaya Dia akan mengenalimu saat kesulitan. Ketahuilah, apa apa yang (ditakdirkan) luput darimu, (maka) tidak akan menimpamu. Dan apa-apa yang (ditakdirkan) menimpamu, ia tidak akan luput darimu. Ketahuilah, bahwa pertolongan ada bersama kesabaran, kelapangan ada bersama kesempitan, dan bersama kesusahan ada kemudahan." [4]

Seorang anak terlahir di atas fitrah, sebagaimana sabda Rasulullah maka sesuatu yang sedikit saja akan berpengaruh padanya. Dan wanita muslimah adalah orang yang bersegera menanamkan agama yang mudah ini, serta menanamkan kecintaan tehadap agama ini kepada anak-anaknya.

2.2 Mengajari Anak Shalat

Mengajarkan anak-anak shalat yaitu dalam hal-hal yang utamanya, wajib-wajibnya, waktunya, cara berwudhu dan dengan shalat dihadapan mereka. Demikian pula dengan pergi bersama mereka ke masjid, berdasarkan sabda Nabi dan hadits Sabrah [5]: "Perintahkanlah anak untuk shalat apabila mereka telah berumur tujuh tahun. Dan jika mereka telah berumur sepuluh tahun (tetapi tidak shalat), maka pukullah mereka." [6]

Hendaknya para ibu mengajarkan kepada mereka, bahwa shalat bukan hanya sekedar gerakan atau rutinitas seorang hamba kepada Rabbnya. Akan tetapi, shalat merupakan hubungan yang dalam dan kuat antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Maka peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh, supaya tidak meninggalkan shalat. Berilah mereka ancaman bila meninggalkan perbuatan tersebut. Suruhlah mereka untuk senantiasa bersegera menunaikan shalat pada awal waktu.

Allah di berfirman:
"Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat serta mengerjakan amal shalih." (QS Maryam: 59-60).

Nabi bersabda:
"Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi, bahwa tidak ada sesembahan yang hak, kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan sampai mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat Apabila mereka melakukan itu, maka terjagalah dariku darah-darah mereka dan harta-harta mereka, kecuali merupakan hak Islam; dan perhitungan mereka atas Allah." [7]

Ibnu Hazm berkata: "Barangsiapa mengakhirkan shalat dan waktunya, maka dia itu hina" [8]

2.3 Menanamkan Kecintaan Kepada Allah dan RasuINya, dan Mendahulukan Keduanya

Dari Anas dia berkata, Rasulullah bersabda: "Tidak sempurna imam seseorang diantara kalian sampai aku menjadi orang yang lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia." [9]

Dengan menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya di hati anak-anak akan mengantarkan mereka menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya. Dan ini menjadi motivasi dasar untuk seluruh yang mengikutinya.

2.4 Mengajarkan Al Qur'an dan Menyuruh Anak-Anak Menghafalkan

Ini merupakan masalah besar yang hanya akan didapatkan oleh orang yang secara sungguh-sungguh berusaha menghafal dan mengamalkannya. Hendaklah ibu memulainya dengan menyuruh menghafal surat Al Fatihah dan surat-surat pendek. Demikian pula hendaklah kita menyuruh mereka menghafal at tahiwat untuk shalat.

HadIts-hadits Nabi telah menunjukkan keutamaan itu semua. Diantaranya yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan dari Nabi beliau bersabda: "Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur'an dan mengajarkannya." [10]

Para ibu pada masa kejayaan Islam, benar-benar memotivasi anak-anaknya untuk mendapatkan kebaikan, terlebih lagi dari Al Qur'an, sebagaimana mereka mengusahakan kebaikan bagi jiwa anak-anaknya.

2.5 Membuat Anak-Anak Cinta Kepada Sunnah Serta Menyuruh Mereka Menjaganya

Allah berfirman:
"Barangsiapa mentaati Rasul itu, maka sesunguhnya dia telah mentaati Allah." (QS An Nisa: 80)

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (QS AI Hasyr:7)

Nabi bersabda: "Dari hadits Irbadh bin Sariyah yang artinya: "Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah, mend-gar dan taat, meskipun yang memerintahkan kalian adalah budak dari Habasyah. Karena sesungguhnya, barangsiapa diantara kalian hidup setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Berpegang teguhlah kalian dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat pentunjuk. Peganglah ia erat-erat, dan gigitlah ta dengan gerahammu." [11]

2.6 Menanamkan Kepada Anak Agar Benci Kepada Bid'ah

Allah berfirman:
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS An Nisa :115)

Nabi bersabda, dari hadits Abdullah bin Mas'ud: "Setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka."

Jadi setiap bid'ah itu tertolak, sebagaimana disebutkan dalam hadits. Adapun pembagian bid'ah menjadi dua, yaitu: bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah madzmumah (tercela), maka sebenamya yang dimaksudkan ialah bid'ah (perkara baru) secara bahasa saja, bukan secara syar'iyyah.

2.7 Membuat Anak-Anak Cinta Kepada Ilmu Syar'i dan Bersabar Dalam Meraihnya

Ilmu syar'i merupakan ilmu yang paling mulia. Allah telah memuji ilmu dan ulama lebih dari satu ayat dalam Al Qur'an.

Allah berfirman:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah ulama." (QS Fathir: 28)

Dan katakanlah: " Ya Rabb, tambahkanlah kepadaku ilmu." (QS Thaha:114)

Dari Zar bin Hubasyi, dia berkata: "Aku mendatangi Sofwan bin 'Assal Al Muradi, lalu dia berkata, "Untuk tujuan apa engkau datang kemari?" Aku menjawab, "Karena mengharapkan ilmu". Dia berkata, "Sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut iImu, karena ridha dengan apa yang mereka cari." [12]

Belajar ketika masih kecil lebih baik daripada belajar ketika sudah dewasa, sebagaimana dalam sebuah sya'ir: Belajar sewaktu kecil bagaikan melukis di atas keras baru.

Pada masa permulaan Islam para ibu memotivasi anaknya untuk menuntut ilmu (syar'i). Bahkan ada yang rela bekerja agar si anak bisa belajar. Lihatlah, bagaimana manusia memuji Sufyan Ats Tsauri [13] karena keluasan ilmu yang dimilikinya.

Al Auza'i berkata tentangnya; "Tidak ada orang yang padanya orang awam berkumpul dengan ridha dan lapang dada, kecuali satu orang di Kufah yaitu Sufyan."

Sufyan tidaklah mencapai apa yang menjadi cita-citanya, kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian pertolongan ibunya yang shalihah.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad dari Waki', dia berkata: "Ummu Sufyan berkata kepada Sufyan, 'Wahai, anakku. Tuntutlah iImu dan aku akan cukupimu dengan alat pemintaanku." [14]

Alangkah besarnya tokoh-tokoh yang keluar dari madrasah ibu.
Ibu adalah madrasah: "Apabila engkau mempersiapkannya berarti engkau mempersiapkan generasi yang kuat akarnya."
Ibu adalah taman: "Jika engkua merawatnya dia akan hidup dengan elok, tumbuh daunnya beraneka rupa."
Ibu adalah guru pertamanya para guru: "Kemuliaanya terpancar menyebar sepanjang cakrawala."

2.8 Mengajarkan Kepada Anak Untuk Meminta Izin

Ini termasuk adab mulia yang penting diajarkan dan dibiasakan oleh seorang ibu muslimah kepada anak-anaknya, khususnya jika anak hampir baligh.

Islam telah memberikan batasan dan rambu-rambu tentang hal ini dengan jelas.

Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat shubuh, ketika kamu sedang menanggalkan pakaian (luarmu) di tengah hari dan sesudah shalat isya'. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tdak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka minta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS An Nur: 58,59)

Ayat-ayat tersebut menjelaskan waktu-waktu yang tidak diperbolehkan bagi anak-anak yang belum baligh untuk masuk, kecuali setelah mendapat izin. Adapun selain tiga waktu tersebut, maka tidak berdosa atas mereka masuk tanpa izin. Imam Ibnu Katsir menjelaskan yang menjadi sebab perlunya meminta izin pada tiga waktu tersebut. Dia berkata:

"Allah Ta'ala memerintahkan orang-orang beriman, agar para budak yang mereka miliki dan anak-anak mereka yang belum baligh untuk meminta izin kepada mereka dalam tiga waktu, yaitu: Sebelum shalat fajar karena pada waktu itu manusia sedang tidur di tempat tidurnya.Ketika menanggalkan pakaian pada siang hari, yaitu pada waktu qailulah (tidur siang), karena manusia seringkali sedang menanggalkan pakaiannya bersama istrinya pada waktu itu. Setelah shalat Isya karena itu saat waktu tidur, maka diperintahkan kepada para budak dan anak-anak (yang belum baligh) untuk tidak masuk kepada ahli bait tanpa izin, karena dikhawatirkan ketika itu seorang suami sedang bersama istrinya atau sedang melakukan hal lainnya."

Oleh karena itu Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. An Nur:58)

Maksudnya, apabila mereka masuk selain dari tiga waktu itu tanpa izin, maka tidak apa-apa atas kalian dan tidak pula atas mereka apabila mereka melihat sesuatu selain dari tiga waktu itu, karena telah diizinkan bagi mereka masuk tanpa izin, dan karena mereka banyak berinteraksi dengan kalian untuk melayani kalian atau yang lainnya. [15]

Adapun bagi anak-anak yang telah baligh, maka mereka harus minta izin setiap waktu apabila ingin masuk. Al Auza'i berkata dari Yahya bin Katsir: "Apabila anak masih berumur empat tahun, maka dia meminta izin kepada kedua orang tuanya dalam tiga waktu. Apabila mereka telah baligh, maka dia harus minta izin setiap waktu." [16]

Keharusan minta izin ini tidak hanya ketika akan masuk ke rumah orang lain saja, akan tetapi juga ketika masuk ke rumah yang hanya dihuni oleh ibu atau saudara perempuannya. Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah, "Apakah aku harus minta izin kepadai buku?" Dia menjawab, "Jika engkau tidak minta izin kepadanya, engkau akan melihat apa yang engkau benci." [17]

Imam Al Bukhari meriwayatkan pula tentang keharusan seorang laki-laki minta izin kepada saudarinya. 'Atha bertanya kepada lbnu Abbas tentang meminta izin kepada saudara perempuan, maka Ibnu Abbas berkata: "Beliau menjawab, " Ya," lalu aku ulangi lagi, "Dua saudariku itu berada dalam pemeliharaanku, aku yang menjamin dan menafkahi mereka, apakah aku harus izin?" "Ya. Apakah engkau suka melihat saudarimu sedang telanjang?" Kemudian beliau membaca, Al Qur'an surat An Nur ayat 58.

Kemudian Atha' berkata, "Mereka diperintahkan minta izin kecuali pada tiga waktu itu," Ibnu Abbas membaca, firman Allah yang artinya: "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin." (QS An Nur: 59)

Ibnu Abbas berkata, "Minta izin hukumnya wajib." Ibnu Juraij menambahkan, "Atas setiap manusia." [18]

2.9 Menanamkan Kejujuran

Jujur adalah sikap terpuji yang wajib kita tanamkan kepada anak-anak.

Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)." (QS At Taubah :9)

Ayat-ayat tentang hal ini sangat banyak. Demikian pula hadits telah berulang-kali menyitir akhlak terpuji ini.

Dari Ibnu Mas'ud dari Nabi beliau bersabda: "Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun kepada surga, dan sesungguhnya seseorang berkata jujur sehingga dia menjadi orang yang jujur. Dan sungguhnya kedustaan menunjukkan kepada kejahatan, sedangkan kejahatan mengantar kepada neraka, dan sesungguhnya seseorang berkata dusta hingga la tercatat di sisi Allah sebagai pendusta." [19]

Berkata jujur adalah kemuliaan bagi anak-anak kita. Dan tidak akan tersealisasi, kecuali dengan berkata jujur dalam segala urusan. Jika seseorang biasa berdusta, dia akan senantiasa dianggap pendusta di hadapan manusia meskipun dia berkata jujur.

2.10 Menanamkan Sifat Sabar

Allah berfirman:

"Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa hisab."
(QS Az Zumar: 10)

"Hai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS Al Baqarah: 153)

Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan dia berkata, Rasulullah bersabda: "Sungguh menakjubkan urusan orang yang briman, sesunguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Dan hal itu tidak terjadi, kecuali bagi orang yang beriman. Apabila dia diberi kesenangan, maka dia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan apabila dia ditimpa kesusahan, maka dia bersabar, dan itupun baik baginya." [20]

2.11 Menyadarkan Kepada Anak Tentang Berharganya Waktu

Sesungguhnya menjaga waktu akan menanamkan sifat menepati janji pada waktunya. Demikian pula harus diperhatikan, agar menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya. Oleh karena itu Allah menganjurkan kita untuk menyusun jadwal kegiatan dan mengerjakannya pada waktu yang telah direncanakan. Dan waktu sangat terbatas.

Allah berfirman:
"Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS An Nisaa :103)

Ibnu Mas'ud pernah bertanya kepada Nabi, "Amal apa yang paling dicintai oleh Allah?" Beliau menjawab: "Shalat pada awal waktunya...." [21]

Allah mengkhususkan masalah shalat, karena shalat dilakukan berulang lima kali sehari semalam. Apabila seseorang menjaga shalatnya dan melaksanakannya pada awal waktu, maka hal dapat menanamkan kedisiplinan dan pemanfaatan waktu. Dan agar menjadikan waktu sehat dan luangnya sebagai kesempatan untuk melakukan kebaikan, karena umur itu terbatas.

Ibnu Abbas berkata, bahwa Nabi bersabda: "Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengannya, yaitu kesehatan dan waktu luang." [22]

Para salafush shalih dan orang-orang yang meniti jalan mereka adalah manusia yang paling ketat dan paling bersemangat dalam menjaga waktu, yakni dengan memanfaatkan dan memenuhinya dengan berbagai kebaikan dan hal-hal bermanfaat.

2.12 Menanamkan Sifat Pemberani

Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. "(QS At Taubah: 111)

Dan Abu Aufa Nabi bersabda: "Dan ketahuilah bahwa surga di bawah naungan pedang." [23]

Ibnu Hajar berkata, Al Qurtubi berkata: "Sabda Rasulullah di atas termasuk ucapan yang indah, singkat tapi padat. Memiliki gaya bahasa nan indah, ringkas dan lafazhnya bagus. (Ucapan) ini memberi faidah anjuran untuk berjihad, dan mengabarkan pahalanya, serta anjuran menghadapi musuh yang menggunakan pedang, serta bersatu ketika perang, sehingga pedang menaungi orang-orang yang berperang." [24]

Ibnul Jauzi berkata, "Maksudnya adalah surga dapat diraih dengan jihad." [25]

Pada periode awal Islam, para ibu menjadi penolong dan pendorong anak-anaknya agar memiliki sifat pemberani. Dalam sejarah terdapat contoh-contoh tentang hal itu. Sebutlah Abdullah bin Zubair bin Awwam. Ketika dia keluar untuk memerangi Hajjaj bin Yusuf, bersamanya tidak ada orang, kecuali sedikit orang. la mengadu kepada ibunya Asma tentang ketidak pedulian manusia dan sikap diam mereka terhadap Hajjaj sampai orang yang paling dekat denganya sekalipun.

Abdullah menanyakan pendapat ibunya. Lalu apakah yang dikatakan oleh wanita yang berjiwa besar ini? Apakah ia berkata kepada putranya, "Tinggalkanlah urusan ini!" karena ia khawatir terhadap keselamatan putranya yang merupakan darah dagingnya? Tidak, demi Allah. Bahkan ia memompakan keberanian dan kesabaran sampal ia mati syahid. Dengan keberanian dan jihad semacam inilah akan tegak berdiri Daulah Islamiyah yang diharapkan dengan izin Allah.

2.13 Bersikap Adil Di Antara Anak-Anak

Dari Nu'man bin Basyir, Rasulullah bersabda: "Bersikap adillah di antara anak-anakmu, adillah di antara anak-anakmu, adillah di antara anak-anakmu." [26]

Pada bagian akhir dari pembahasan ini, perhatikanlah firman Allah melalui lisan Luqman Al Hakim kepada anaknya sebagai nasihat seorang ayah kepada anak: "Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengejakan kebaikan dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa-apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesunguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS Lugman:7-19)

Saudariku muslimah, sesungguhnya anak-anak kita adalah amanah yang dititipkan Allah kepada kita. Allah akan menanyakan, apakah kita akan menjaganya atau menyia-nyiakannya. Maka wajib atas kita untuk menjaga amanah ini. Dengan keyakinan, kita mendidik generasi muslim, kita persiapkan mereka agar menjadi generasi kuat untuk menghadapi orang-orang yang menyimpangkan Al Qur'an dan As Sunnah.
Wallahu walyyut taufiq.

Dari Salamah Ummu Ismail
[Dikutip dari majalah As-Sunnah 11/VII/2004 hal 57 - 58]


Catatan Kaki
[1] Diangkat dari buku berjudul Wajibatul Mar'atil Muslimah Ala Dhau'il Kitab Was Sunnah Hlm.103 - 127, karya Ummu 'Amr binti Ibrahim Badawi.
[2] Husnul Uswah, hlm. 215.
[3] HR. Tirmidzi, dan ia berkata, "Hadits hasan shahih."
[4] HR. selain Tirmidzi.
[5] Sabrah, yakni Ibnu Abdil Aziz bin Rabi' bin Sabrah Al-Juhani.
[6] Dikeluarkan oleh Abu Dawud, 494; Tirmidzi, 407; dan dia berkata, "Hasan shahih." Ad Darimi, I/333; Ibnul Jarud, 147; Ibnu Khuzaimah, 1002; Hakim, I/201 dan dia berkata, "Shahih atas syarat Muslim dan disepakati oleh Adz Dzahabi." Berkata Albani dalam Al Irwa' I/267, "Dan dalam apa-apa yang dikatakan keduanya perlu diteliti, karena Muslim hanya mengeluarkan satu hadits saja dali Abdul Malli ini dalam hal mut'ah sebagai pendukung, sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafidz dan lainnya. Hadits ini sanad-sanadnya dha'if, akan tetapi dia mempunyai syahid yang menguatkannya kepada derajat shahih dari hadits Ibnu Amr."
[7] HR. Bukhari, 25 dan Muslim, I/200 Nawawi.
[8] Al Muhalla, 2/239
[9] HR. Bukhari, 14; Muslim, 2/15; Nawawi; Ibnu Majah, 67; Ad Darimi, 2/307; Ahmad, 3/77; Abdurrazaq, 2032; Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 2/239.
[10] HR. Bukhari, 5027; Abu Dawud, 1452; At Tirmidzi, 2907, 2908; Ibnu Majah, 211, 212; Ahmad, 405, 412, 413, 500; Ath Thayalisi, 1880; dan Ad Darimi, 2/437.
[11] HR. Abu Dawud, 4607; At Tirmidzi, 2676 dan dia barkata, "Hasan shahih''; Ibnu Majah, 42; Ad Darimi, 1/44, 45; Ahmad, 4/126, 127; Hakim, 1/97; Ibnu Abdil Bar dalam Jami'ul Ilmi, 92/17, 172.
[12] HR. Tirmidzi, 96/3535; Nasa'i, 1/83; Ibnu Majah, 284; Ad Darimi, 1/101; Ahmad, 4/239, 240; Ibnu Khuzaimah, 17/193, 196; Asy Syafi'i dalam Al Umm, 1/34, 35; Hakim, 1/100; Ibnu Abdil Bar, dalam Al Jami' 91/32; Ibnu Hazm, dalam Al Muhalla, 2/830; Ibnul Jarud, 94; Humaidi, 881.
[13] Beliau adalah salah seorang Imam dari enam madzhab. Beliau adalah Amirul Mu'minin dalam hadits. Syu'bah, Ibnu Mubarak, Abu 'Ashim, Ibnu Mu'ayyan dan lebih dari satu ulama' lainnya, berkata, "Sufyan adalah Amirul Mu'minin dalam hadits." Ibnul Mubarak berkata, "Aku menulis dari seribu seratus syaikh. Tidaklah aku menulis yang lebih utama dari Sufyan." (Lihat At Tahdzib, 4/112, 113). Dikatakan pula bahwa Sufyan adalah penduduk dunia yang paling faqih (Siyar Alamin Nubala).
[14] 'Audatul Hijab, karya Muhammad Ismail, 2/143. Dinukil dari Al Imam Sufyan Ats Tsauri, karya Muhammad Abul Fath Al Bayanuni.
[15] Tafsir Ibnu Katsir, 3/303, 304.
[16] Tafsir Ibnu Katsir, 3/303, 304.
[17] Al Adabul Mufrad, 1060.
[18] Al Adabul Mufrad, 1063.
[19] HR. Bukhari, 6094; Muslim, 16/60; Nawawi; Abu Dawud, 4989; Tirmidzi, 1972, dan dia berkata, "Hasan shahih."[20] HR. Muslim, 18/125; Nawawi.
[21] HR. Muslim, 18/125; Nawawi.
[22] HR. Bukhari, 527; Muslim, 2/73; Nawawi; Tirmidzi, 173, dan dia berkata, "Hasan shahih."; Nasa'i, 1/292; Ad Darimi, 1/278; Ahmad, 1/409, 410, 439; Humaidi, 103; Thabrani dalam Ash Shaghir, 446; Al Baihaqi dalam Al I'tiqad, hlm. 42.
[23] HR. Bukhari, 2818, 2833, 3966; Muslim, 1742; Abu Dawud, 2631; Tirmidzi, 1659.
[24] Fathul Bari, 6/33.
[25] Fathul Bari, 6/33.
[26] HR. Abu Dawud, 93544; Nasa'i, 6/262; Ahmad, 4/275, 278, 375.


KEWAJIBAN UMAT MUSLIM MEMPELAJARI MUAMALAH

Islam adalah agama yang sempurna (komprehensif) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Salah satu ajaran yang sangat penting adalah bidang muamalah atau iqtishadiyah (Ekonomi Islam).

Kitab-kitab Islam tentang muamalah (ekonomi Islam) sangat banyak dan berlimpah, Jumlahnya lebih dari seribuan judul buku. Para ulama tidak pernah mengabaikan kajian muamalah dalam kitab-kitab fikih mereka dan dalam halaqah (pengajian-pengajian) keislaman mereka. Seluruh Kitab Fiqh membahas fiqh ekonomi.

Bahkan cukup banyak para ulama yang secara khusus membahas ekonomi Islam, seperti kitab Al-Amwal oleh Abu Ubaid, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf, Al-Iktisab fi Rizqi al-Mustathab oleh Hasan Asy-Syaibani, Al-Hisbah oleh Ibnu Taymiyah, dan banyak lagi yang tersebar di buku-buku Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Al-Ghazali, dan sebagainya.

Namun dalam waktu yang panjang, materi muamalah (ekonomi Islam) cenderung diabaikan kaum muslimin, padahal ajaran muamalah bagian penting dari ajaran Islam, akibatnya, terjadilah kajian Islam parsial (sepotong-sepotong). Padahal orang-orang beriman diperintahkan untuk memasuki Islam secara kaffah (menyeluruh).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينُُ

”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh (kaffah). Jangan ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah 208).

Akibat lainnya, ialah ummat Islam tertinggal dalam ekonomi dan banyak kaum muslimin yang melanggar prinsip ekonomi Islam dalam mencari nafkah hidupnya, seperti riba, maysir, gharar, haram, batil, dsb.

Ajaran muamalah adalah bagian paling penting (dharuriyat) dalam ajaran Islam. Dalam kitab Al-Mu’amalah fil Islam, Dr. Abdul Sattar Fathullah Sa’id mengatakan:

ومن ضرورات هذا الاجتماع الانسان وجود معاملات ما بين أفراده و جماعته ولذالك جاءت الشريعة الالهية لتنظيم هذه المعاملات وتحقيق مقصودها والفصل بينهم

"Di antara unsur dharurat (masalah paling penting) dalam masyarakat manusia adalah “Muamalah”, yang mengatur hubungan antara individu dan masyarakat dalam kegaiatan ekonomi. Karena itu syariah ilahiyah datang untuk mengatur muamalah di antara manusia dalam rangka mewujudkan tujuan syariah dan menjelaskan hukumnya kepada mereka."

Menurut ulama Abdul Sattar di atas, para ulama sepakat tentang mutlaknya ummat Islam memahami dan mengetahui hukum muamalah maliyah (ekonomi syariah).

قد أتفق العلماء على أن المعاملات نفسها ضرورة بشرية

"Ulama sepakat bahwa muamalat itu sendiri adalah masalah kemanusiaan yang maha penting (dharuriyah basyariyah)."

FARDHU 'AIN

Husein Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-Iltizam bi Dhawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat Maliyah (2002) mengatakan, “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim."

Husein Shahhatah, selanjutnya menulis, “Dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah swt, Harus berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas untuk Allah semata” Memahami/mengetahui hukum muamalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun untuk menjadi expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah."

Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata:

لا يبع في سوقنا الا من قد تفقه في الدين

“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam.”
(H.R.Tarmizi).

Berdasarkan ucapan Umar di atas, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa kecuali telah memahami dengan baik fiqh muamalah, maka umat Islam tidak boleh beraktifitas:
  • Bisnis,
  • Perdagangan,
  • Perbankan,
  • Asuransi,
  • Pasar modal,
  • Koperasi,
  • Pegadaian,
  • Reksadana,
  • Bisnis MLM,
  • Jual-Beli,
  • Kegiatan ekonomi lainnya.
Sehubungan dengan itulah Dr. Abdul Sattar menyimpulkan:

ومن هنا يتضح أن المعاملات هي من لب مقاصد الدينية لاصلاح الحياة البشرية ولذالك دعا اليها الرسل من قديم باعتيارها دينا ملزما لاخيار لأحد فيه.

"Dari sini jelaslah bahwa “Muamalat” adalah inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu para Rasul terdahulu mengajak umat (berdakwah) untuk mengamalkan muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti dilaksanakan, Tidak ada pilihan bagi seseorang untuk tidak mengamalkannya. " (Halaman 16)

Dalam konteks ini Allah berfirman:

وَإِلىَ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهِ غَيْرُهُ وَلاَتَنقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِنِّي أَرَاكُم بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُّحِيطٍ {84} وَيَاقَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلاَتَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَآءَهُمْ وَلاَتَعْثَوْا فِي اْلأَرْضِ مُفْسِدِينَ

"Dan kepada penduduk Madyan, Kami utus saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata, “Hai Kaumku sembahlah Allah, sekali-kali Tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik. Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)”.

"Dan Syu’aib berkata,”Hai kaumku sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan." (QS. Hud: 84-85)

Dua ayat di atas mengisahkan perdebatan kaum Nabi Syu’aib dengan umatnya yang mengingkari agama yang dibawanya. Nabi Syu’aib mengajarkan I’tiqad dan iqtishad (aqidah dan ekonomi). Nabi Syu’aib mengingatkan mereka tentang kekacauan transaksi muamalah (ekonomi) yang mereka lakukan selama ini.

Al-Quran lebih lanjut mengisahkan ungkapan umatnya yang merasa keberatan diatur transaksi ekonominya.

قَالُوا يَاشُعَيْبُ أَصَلَوَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَن نَّتْرُكَ مَايَعْبُدُ ءَابَآؤُنَآ أَوْ أَن نَّفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَانَشَاؤُا إِنَّكَ لأَنتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ

"Mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kamu meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyangmu atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang penyantun lagi cerdas.”
  • Ayat ini berisi dua peringatan penting, yaitu aqidah dan muamalah
  • Ayat ini juga menjelaskan bahwa pencarian dan pengelolaan rezeki (harta) tidak boleh sekehendak hati, melainkan mesti sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah, yang disebut dengan syari’ah.
Aturan Allah tentang ekonomi disebut dengan ekonomi syariah. Umat manusia tidak boleh sekehendak hati mengelola hartanya, tanpa aturan syari’ah. Syariah misalnya secara tegas mengharamkan bunga bank. Semua ulama dunia yang ahli ekonomi Islam (para professor dan Doktor) telah ijma’ mengharamkan bunga bank. (Baca tulisan Prof.Yusuf Qardhawi, Prof Umar Chapra, Prof.Ali Ash-Sjabuni, Prof Muhammad Akram Khan).

Tidak ada perbedaan pendapat pakar ekonomi Islam tentang bunga bank. Untuk itulah lahir bank-bank Islam dan lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya. Jika banyak umat Islam yang belum faham tentang bank syariah atau secara dangkal memandang bank Islam sama dengan bank konvensianal, maka perlu edukasi pembelajaran atau pengajian muamalah, agar tak muncul salah faham tentang syariah.

MUAMALAH ADALAH SUNAH PARA NABI

Berdasarkan ayat-ayat di atas, Syekh Abdul Sattar menyimpulkan bahwa hukum muamalah adalah sunnah para Nabi sepanjang sejarah.

وهذه سنة مطردة في الانبياء عليهم السلام كما قال تعالى

"Muamalah ini adalah sunnah yang terus-menerus dilaksanakan para Nabi AS," (Halaman 16), sebagaimana firman Allah:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

"Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat menegakkan keadilan itu." (QS. Al Hadid:25)

PENGERTIAN MUAMALAH

Pengertian muamalah pada mulanya memiliki cakupan yang luas, sebagaimana dirumuskan oleh Muhammad Yusuf Musa, yaitu Peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan dita’ati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”. Namun belakangan ini pengertian muamalah lebih banyak dipahami sebagai“Aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam memperoleh dan mengembangkan harta benda”atau lebih tepatnya “aturan Islam tentang kegiatan ekonomi manusia”

Ruang Lingkup Muamalah:
  1. Harta, Hak Milik, Fungsi Uang dan ’Ukud (akad-akad)
  2. Buyu’ (tentang jual beli)
  3. Ar-Rahn (tentang pegadaian)
  4. Hiwalah (pengalihan hutang)
  5. Ash-Shulhu (perdamaian bisnis)
  6. Adh-Dhaman (jaminan, asuransi)
  7. Syirkah (tentang perkongsian)
  8. Wakalah (tentang perwakilan)
  9. Wadi’ah (tentang penitipan)
  10. Ariyah (tentang peminjaman)
  11. Ghasab (perampasan harta orang lain dengan tidak shah)
  12. Syuf’ah (hak diutamakan dalam syirkah atau sepadan tanah)
  13. Mudharabah (syirkah modal dan tenaga)
  14. Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun)
  15. Muzara’ah (kerjasama pertanian)
  16. Kafalah (penjaminan)
  17. Taflis (jatuh bangkrut)
  18. Al-Hajru (batasan bertindak)
  19. Ji’alah (sayembara, pemberian fee)
  20. Qaradh (pejaman)
  21. Ba’i Murabahah
  22. Bai’ Salam
  23. Bai Istishna’
  24. Ba’i Muajjal dan Ba’i Taqsith
  25. Ba’i Sharf dan transaksi valas
  26. Urbun (panjar atau DP)
  27. Ijarah (sewa-menyewa)
  28. Riba, konsep uang dan kebijakan moneter
  29. Shukuk (surat utang atau obligasi)
  30. Faraidh (warisan)
  31. Luqthah (barang tercecer)
  32. Waqaf
  33. Hibah
  34. Wasiat
  35. Iqrar (pengakuan)
  36. Qismul fa’i wal ghanimah (pembagian fa’i dan ghanimah)
  37. ََََََُQism ash-Shadaqat (tentang pembagian zakat)
  38. Ibrak (pembebasan hutang)
  39. Muqasah (Discount)
  40. Kharaj, Jizyah, Dharibah,Ushur
  41. Baitul Mal dan Jihbiz
  42. Kebijakan fiskal Islam
  43. Prinsip dan perilaku konsumen
  44. Prinsip dan perilaku produsen
  45. Keadilan Distribusi
  46. Perburuhan (hubungan buruh dan majikan, upah buruh)
  47. Jual beli gharar, bai’ najasy, bai’ al-‘inah, Bai wafa, mu’athah, fudhuli, dll.
  48. Ihtikar dan monopoli
  49. Pasar modal Islami dan Reksadana
  50. Asuransi Islam, Bank Islam, Pegadaian, MLM, dan lain-lain
PENUTUP

Dari berbagai kutipan di atas disimpulkan bahwa kajian muamalah mutlak dilaksanakan dan wajib diadakan oleh umat Islam dalam pengajian-pengajian keagamaan, baik di mesjid maupun di mushalla. Hal ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Para nazir mesjid wajib melaksanakannya, sehingga ada keseimbangan antara kajian aqidah, ibadah dengan kajian muamalah. Dengan demikian, kajian fiqh muamalah tidak hanya di Program S1, S2 dan S3 di Perguruan Tinggi, tetapi juga di kalangan masyarakat Islam lainnya, khususnya di majlis ta’lim dan pengajian Islam di mesjid-mesjid.

Mudah-mudahan tulisan ini menyadarkan kita untuk mendalami syariah Allah di masa-masa yang akan datang demi pengamalan Islam yang holistik dan kebangkitan ekonomi umat. Wallahu a'lam bissowab.

Dari: Agustianto * - Pesantren Virtual

* Penulis adalah Sekjend Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Fikih Muamalah Ekonomi Pascasarjana Universitas Indonesia


IBADAH MAHDLAH & GHAIRU MAHDLAH DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS

PENDAHULUAN

Agama adalah suatu sistem nilai yang diakui dan diyakini kebenarannya dan merupakan jalan menuju keselamatan hidup. Agama merupakan suatu hakikat eksternal, dapat dikatakan agama merupakan kumpulan hukum dan ketentuan ideal yang mendiskripsikan sifat-sifat dari kekuatan Ilahiah itu dan kumpulan kaidah-kaidah praktis yang menggariskan cara beribadah kepada-Nya.

Islam berasal dari kata aslama, yuslimu yang berarti menyerah, tunduk dan damai. Islam dalam arti terminologi berarti agama yang ajaran-ajarannya diberikan oleh Allah kepada manusia melalui para Rasul-Nya untuk keselamatan hidup manusia. Dalam al-Quran dikatakan bahwa agama Allah adalah Islam yang telah diturunkan melalui perantara para Rasul.

Agama merupakan ibadah dan konsekuensi ibadah manusia hanya kepada Allah. Islam dijelaskan dalam Al Qur’an sebagai agama. Kata ini merupakan bentuk masdhar dari dana-yadinu, yang memiliki beberapa arti yaitu: taat atau patuh, wara’, agama, mazhab, keadaan, cara, atau kebiasaan, raja’, paksaan dan pembalasan atau perhitungan.

Apabila makna-makna di atas dikaitkan dengan arti yang dikandung oleh Islam, maka hubungan yang erat terdapat pada makna kepatuhan atau ketaatan. Dengan demikian, seorang muslim (pemeluk agama Islam) adalah orang yang telah menyatakan tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah yang didasari oleh hadits dan ayat al-Qur’an.

PEMBAHASAN

Tentang Ibadah
Pilar islam yang pertama yaitu akidah dan pilar Islam yang kedua adalah ibadah. Ibadah berasal dari kata ‘abada, ya’budu, yang berarti menghamba atau tunduk dan patuh. ‘abdun berarti budak atau hamba sahaya, alma’bad berarti mulia dan agung, ‘abada bih berarti selalu mengikutinya, alma’budberarti yang memiliki, yang dipatuhi dan diagungkan. Jika makna kata-kata tersebut diurutkan akan menjadi susunan kata-kata yang logis, yaitu: “Jika seseorang menghambakan diri terhadap yang lain, ia akan mengikuti, mengagungkan, memuliakan, mematuhi dan tunduk“

.حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْه

Terjemah: Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan dianggap bagi tiap manusia apa yang dia niatkan. Maka yang hijrahnya tulus ikhlas kepada Allah dan Rasulnya maka akan diterima. Sedangkan yang hijrahnya untuk dunia “kekayaan” maka itulah yang akan diperoleh. Atau wanita yang akan dinikahi maka hijrah itu terhenti pada niat hijrah yang dia tuju.[2]

Hadits diatas marfu’ dan ittishal sanad kepada Nabi, akan tetapi hadits tersebut tergolong hadits ahad karena pada tingkatan hanya diriwayatkan oleh shahabat Umar ibn al-Khattab sehingga Umar tidak memiliki syawahid. Pada riwayat Bukhari ini ditemukan 7 [tujuh] sanad namun rangkaian sanad tersebut memiliki mutabi’ pada tingkatan tabi’in maupun tabi’ tabi’in.Dijelaskan dalam fath al-Bari syarh Shahih Bukhori, bahwa niat merupakan kunci dari semua ibadah dan perbuatan. Bahwa niat menentukan segala perbuatan yang dilakukan[3] dan melandasi setiap bentuk ibadah baik yang nampak maupun yang tidak nampak. Dalam riwayat yang lain:


حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ ذَرٍّ عَنْ يُسَيِّعٍ الْكِنْدِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ قَالَ الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ وَقَرَأَ وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِلَى قَوْلِهِ دَاخِرِينَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Hadits diatas di kutip dari Turmudzi. Dilihat dari sanadnya merupakan hadits marfu’ dan ittishal kepada Nabi. Akan tetapi dalam tingkatan shahabat tidak memiliki syawahid karena hanya diriwayatkan oleh an-Nu’man ibn Basyir. Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa do’a adalah ibadah.Secara terminologis, pengertian ibadah terpetak-petak dengan rumusan yang bervariasi menurut berbagai disiplin ilmu. Menurut Ahli Tauhid dan Hadits ibadah adalah:

توحيد الله وتعظيمه غاية التعظيم مع التذلل والخضوع له

Mengesakan dan mengagungkan Allah sepenuhnya serta menghinakan diri dan menundukkan jiwa kepada-Nya.Dalam penjelasan lain yang merujuk pengertian ibadah dari sudut akhlak dan etika dalam kehidupan:

قَالَ النَبي ص.م. نَظر الرّجل الى والديه حبّا لهما عبادة (رواه السيوطى)


Terjemah: Nabi SAW bersabda: memandang ibu dan bapak karena cinta kepadanya adalah ibadah (HR. As-Suyuthi)

قال النبي ص.م. العبادة عشرة اجزاء تسعة منها فى طلب الحلال

Terjemah:Nabi SAW bersabda: Ibadah itu sepuluh bagian, sembilan bagian diantaranya terletak dalam mencari harta yamg halalSedangkan menurut ahli fiqih pengertian ibadah adalah:

ما أدّيت ابتغاء لوجه الله وطلبا لثوبه فى الآخرة

Segala bentuk ketaatan yang dikerjakan untu mencapai keridlaan Allah SWT dan mengharapkan pahalanya di akhirat.[4]

Sepanjang penelusuran dalam penyusunan makalah ini, penulis belum dapat menemukan dan mencantumkan teks hadits yang menunjukkan adanya klasifikasi baik yang mahdlah maupun yang ghairu mahdlah bahkan hadits yang menunjukkan pengertian ibadah secara jelas, namun ketika lebih dikerucutkan pada term ibadah tertentu, banyak dijumpai hadits yang menjelaskan ibadah seperti tentang thaharah, shalat, puasa, zakat dll. Menurut Wahbah Zuhayli, ibadah mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, yaitu mencakup segala amal kebajikan yang dilakukan dengan niat ikhlas[5].

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS. Al-Baqarah : 186)

Ayat diatas menyiratkan perintah untuk selalu beribadah kepada Allah. Selanjutnya masih berkaitan dengan beberapa teks hadits diatas. TM Hasbi Ashshidieqi, membagi ibadah dalam dua arti menurut bahasa dan arti menurut istilah.
  1. Secara etimologis, ibadah atau ibadat berarti: taat, menurut, mengikut dan sebagainya. Ibadah juga digunakan dalam arti doa.
  2. Dari sisi terminologis, ibadah mempunyai arti berdasarkan istilah yang dipergunakan, antara lain: Menurut ahli tauhid, ibadah itu berarti mengesakan Allah, mentakzimkan-Nya dengan sepenuh-penuh takzim serta menghinakan diri kita dan menundukkan jiwa kepada-Nya. Ahli fiqh mengartikan ibadah dengan: apa yang dikerjakan untuk mendapat keridlaan Allah dan mengharap pahalaNya di akhirat[6].
العبادة هو اسم جامع لمن يحبه الله ويرضاه قولا كان او فعلا جليّا كان او خفياتعظيما له وطلبا لثوابه


Ibadah itu sendiri bisa dikelompokkan ke dalam kategori berdasarkan beberapa klasifikasi:

1. Pembagian ibadah didasarkan pada umum dan khusus (khashashah dan ‘ammah)
  • Ibadah ‘ammah, yakni semua pernyataan baik yang dilakukan dengan niat yang baik dan semata-mata karena Allah, seperti makan, minum, bekerja dan lain sebagainya dengan niat melaksanakan perbuatan itu untuk menjaga badan jasmaniah dalam rangka agar dapat beribadah kepada Allah.
  • Ibadah khashashah ialah ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash, seperti shalat, zakat, puasa dan haji.
2. Pembagian ibadah dari segi hal-hal yang bertalian dengan pelaksanaannya:
  • Ibadah jasmaniah, ruhiyah, seperti shalat dan puasa,
  • Ibadah ruhiyah dan amaliyah, seperti zakat,
  • Ibadah jasmaniah ruhiyah dan amaliyah, seperti mengerjakan haji.
3. Pembagian ibadah dari segi kepentingan perseorangan atau masyarakat:
  • Ibadah fardhi, seperti salat dan puasa,
  • Ibadah ijtima’i seperti zakat dan haji.
4. Pembagian dari segi bentuk dan sifatnya:
  • Ibadah yang berupa perkataan atau ucapan lidah, seperti membaca do’a, membaca Al Qur’an, membaca dzikir, membaca tahmid dan mendoakan orang yang bersin,
  • Ibadah yang berupa pekerjaan tertentu bentuknya meliputi perkataan dan perbuatan, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji,
  • Ibadah yang sifatnya menggugurkan hak, seperti membebaskan hutang dan memaafkan orang yang bersalah,
  • Ibadah yang pelaksanaannya menahan diri, seperti ihram, puasa dan I’tikaf, dan menahan diri untuk berhubungan dengan istrinya,
  • Ibadah yang berupa perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti menolong orang lain, berjihad, membela diri dari gangguan.
Dalam beribadah, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, yakni:
  • Sah, maksudnya amal itu dilakukan sesuai dengan kehendak syara’
  • Ikhlas, yakni semata-mata karena Allah.
Dalam konstruk ahli fiqih, sah ialah lawan batal. Perbuatan yang dihukumi sah, ila memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Dalam urusan perkawinan bila tidak terpenuhi rukun, disebut batal dan bila tidak memenuhi syarat-syaratnya maka fasid.

KESIMPULAN

Berbagai pembagian ibadah di atas telah dijelaskan bahwa ibadah khashasah (dapat dipahami sebagai ibadah mahdlah) ialah yang ditentukan bentuk ketentuan dan pelaksanannya. Sedang ibadah ‘ammah (dipahami sebagai ibadah ghairu mahdlah) adalah semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat semata-mata karena Allah. Pernyataan diatas, seakan-akan niat merupakan kriteria pada ibadah ‘ammah dan tidak merupakan kriteria pada ibadah mahdhah, padahal niatpun ada pada ibadah mahdlah. Sebagian berpendapat niat adalah rukun, sebagian berpendapat merupakan syarat.


Dari: Muhammad Nashrul Haqqi, S.Th.IA. - Kumpulan Tulisan Saya



DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
CD Maktabah Syamilah, Fath al-Bari
CD Mausu’ah al-Hadits,Hasbi ash Shidiqiey,
Kuliah Ibadah, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Lu’lu’ wa al-Marjan. terj. Salim Bahreisy, Surabaya: Bina Ilmu, 1995
Rahman Ritonga dkk., Fiqih Ibadah, Jakarta: Gama Media Persada, 2002
Shahih Buchari, terj. Zainuddin Hamidy, Jakarta: Widjaya. 1969
Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I, Dar al-Fikr, 1989

[1] CD Mausu’ah al-Hadits, Bukhori Kitab al-Iman. No. Hadits 52.
[2] Muh}ammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Lu’lu’ wa al-Marjan terj. Salim Bahreisy (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm. 2. Lihat juga Shahih Buchari terj. Zainuddin Hamidy (Jakarta: Widjaya, 1969), hlm.13.
[3] CD Maktabah Syamilah, Fath al-Bari.
[4] Rahman Ritonga dkk., Fiqih Ibadah (Jakarta: Gama Media Persada, 2002), hlm. 3.
[5] Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), hlm. 11.
[6] Hasbi ash Shidiqiey, Kuliah Ibadah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 2-6 .


Rabu, 19 Mei 2010

CONTOH SITUS SEORANG MURTADIN







Rabu, 12 Mei 2010

SYAHADAT YESUS DALAM ALKITAB, KRISTIANI ATAU ISLAMI?

Dalam brosur “Dakwah Ukhuwah” berjudul “Membina Kerukunan Hidup Antarumat Beragama,” secara licik para misionaris mengelabui umat Islam untuk menggiring akidah agar pindah agama menjadi Kristen.



Puluhan ayat Al-Qur'an dikutip dalam brosur tersebut untuk diselewengkan kepada pengertian yang mendukung doktrin Kristen. Salah satu ayat yang menonjol dalam brosur tersebut adalah surat Az-Zukhruf 61: “Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang Hari Kiamat, karena itu janganlah kamu ragu tentang kiamat itu dan ikutlah Aku, itulah jalan yang lurus.”



Kata “ikutlah aku, itulah jalan yang lurus” ini diselewengkan misionaris sebagai ucapan Yesus sendiri yang berarti orang yang mengimani Al-Qur'an, yaitu umat Islam, harus mengikuti Yesus karena Yesus itulah jalan yang lurus (shirathal mustaqim).



“Jalan yang lurus” (shirathal mustaqim) yang dimaksud dalam ayat tersebut bukannya Yesus yaitu menjadi Kristen. Sama sekali bukan. Jalan yang lurus yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah jalah Tauhid. Pengertian inilah yang paling tepat, karena surat Az-Zukhruf 61 itu belum berhenti, tapi masih ada kelanjutannya, yaitu ayat 64:



“Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus” (Qs. Az Zukhruf 64).





SYAHADAT YESUS DALAM ALKITAB, KRISTIANI ATAU ISLAMI?




Para misionaris tidak perlu menggurui umat Islam untuk mengikuti jalan yang lurus. Karena umat Islam lebih tahu dan akidahnya sudah sesuai dengan ajaran para nabi Allah dari Adam sampai Muhammad SAW, termasuk Yesus (Nabi Isa AS).



Jika para misionaris ingin mengajak umat Islam untuk menaati ajaran Yesus, mari kita buktikan, siapakah yang imannya sesuai dengan ajaran Yesus. Perhatikan sabda Yesus dalam Alkitab berikut:



“Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Injil Yohanes 17:3).



“And this is life eternal, that they might know thee the only true God, and Jesus Christ, whom thou hast sent” (Yohanes 17:3, Alkitab King James Version 1810).



“Eternal life is to know you, the only true God, and to know Jesus Christ, the one you sent” (Yohanes 17:3, Contemporary English Version).



“And eternal life means to know you, the only true God, and to know Jesus Christ, whom you sent” (Yohanes 17:3, Today’s English Version).



“And this is life eternal, that they should know thee the only true God, and him whom thou did send, even Jesus Christ” (Yohanes 17:3, Revised Standard Version 1611).



Untuk lebih meyakinkan para pembaca, marilah perhatikan ayat tersebut menurut bahasa-bahasa daerah:



“Ikolah iduik sajati nan kaka tu; iyolah, urang musti tawu pulo jo Bapak, hanyo Angkau sajolah Allah nan bana, urang musti tawu pulo jo Isa Almasih nan Bapak utuih” (Yohanes 17:3, Injil Baso Minang).



“Gesang sejatos inggih menika, menawi tiyang wanuh dhateng Paduka, Allah ingkang sejatos, ingkang mboten wonten tunggilipun, sarta tepang kaliyan Yésus Kristus, utusan Paduka” (Yohanes 17:3, Alkitab boso Jowo).



“Dupi hirup langgeng teh nya eta: Terang ka Ama, Allah sajati anu mung hiji, sareng ka utusan Ama, Yesus Kristus” (Yohanes 17:3, Alkitab bahasa Sunda).



“Ka'dhinto' odhi' se salerressa sareng se langgeng; sopaja oreng oneng ka Junandalem, Allah se settong sareng se salerressa, jugan oneng ka Isa Almasih se eotos Junandalem” (Yohanes 17:3, Alkitab bahasa Madura).



“Ini no tu hidop yang kekal, biar dorang tau butul-butul Tuhan cuma satu-satunya Allah yang banar, deng Yesus Kristus yang Tuhan da utus” (Yohanes 17:3, Alkitab bahasa Manado sehari-hari).



“Alai na mananda Ho, Debata na sasada i, na sintong i, dohot Jesus Kristus na sinurum, i do hangoluan na salelenglelengna” (Yohanes 17:3, Alkitab bahasa Toba, Sumut).



Pada ayat tersebut Yesus mengaku dengan jujur bahwa satu-satunya Allah yang benar adalah Allah SWT, dan dia hanya seorang utusan Tuhan. Ini berarti Yesus mengajarkan dua kalimat syahadat (syahadatain), yang jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab, akan menjadi: “Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Isa rasuulullah.”



Sepeninggal Yesus, nabi kita Muhammad SAW juga mengajarkan dua kalimat syahadat (syahadatain) yaitu: “Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammaadar rasuulullah.” Kalimat syahadatain adalah pintu awal menjadi seorang muslim bagi seluruh manusia di dunia.



Yesus mengajarkan dua kalimat syahadat, demikian pula umat Islam. Sebaliknya, umat Kristen memiliki 12 syahadat (credo) sendiri yang dikenal dengan ”12 Syahadat/Pengakuan Iman.” Syahadat 12 ini bukan warisan Yesus, tapi hasil rumusan konsili Konstan*ti*nopel tahun 381 M.



Ini adalah bukti bahwa umat Islamlah yang meneruskan ajaran Yesus tersebut. Sementara umat Kristen tidak mengenal dua kalimat syahadat.



Pada ayat tesebut, sangat jelas sekali Yesus berterus terang sejujur-jujurnya bahwa satu-satunya Tuhan yang benar hanyalah Bapa (Allah SWT) dan dia hanya seorang utusan saja.



Apa yang diucapkan Yesus dalam Injil Yohanes 17:3 tadi, sama sekali tidak tidak diamalkan oleh mereka. Bahkan mereka menjadikan Yesus sebagai Tuhan atau Allah itu sendiri yang mereka sembah. Na’udzubillahimindzalik.



Ajaran dua kalimat syahadat Yesus dalam Yohanes 17:3 itu membuktikan bahwa umat Islamlah agama yang "melestarikan" ajaran Yesus bahwa satu-satunya Tuhan adalah Allah dan dia (Yesus) hanyalah seorang utusan Tuhan, bukan Tuhan maupun penjelmaan Tuhan! Sedangkan umat Kristiani menjadikan Yesus sebagai salah satu oknum Tuhan dalam doktrin Trinitas.



Yesus mengajarkan dua kalimat syahadat, demikian pula umat Islam. Sebaliknya, umat Kristen memiliki 12 syahadat (credo) sendiri yang dikenal dengan ”12 Syahadat/Pengakuan Iman.” Syahadat 12 ini bukan warisan Yesus, tapi hasil rumusan konsili Konstan*ti*nopel tahun 381 M yang diadakan oleh kaisar Theodosius yang dikenal dengan Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel (Credo Niceano-Constantinopolitanum).



Jelaslah bagi kita, siapa yang lebih taat kepada syahadat warisan Nabi Isa. Jika para misionaris penulis brosur ”Dakwah Ukhuwah” itu ingin menaati ajaran Yesus, maka ajaran yang paling taat kepada syahadat Yesus adalah Islam.



Dari: H. Insan LS Mokoginta (Wencelclaus)



Baca juga: Injil Membantah Ketuhanan Yesus

Photobucket